Amsterdam: Art of Medic, War and Their Conspiracy
Ditulis oleh Kru Bobby ‘21
David O. Russell (sutradara Silver Linings Playbook dan American Hustle) kembali dalam sajian megah berparas sejarah dari tahun 1930-an. Dalam ensembel pemain yang begitu berkelas, menggaet seluruh lapisan aktor dari senior hingga penyair deretan lagu menjadikan ‘Amsterdam’ kemasan yang menarik atensi penonton. Lebih tepatnya, ia bercerita tentang tiga sahabat: seorang dokter Burt Berendsen, seorang perawat Valerie Voze, dan seorang pengacara Harold Woodman (yang katanya tak terpisahkan) harus menghadapi kasus pembunuhan teman jenderal mereka yang berjasa. Tanpa disadari, mereka ikut terseret dalam konflik terbesar negara dan konspirasi di baliknya yang akan berdampak buruk bagi Amerika khususnya. Diperingatkan di awal film bahwa sebagian kejadian betul-betul terjadi dalam sejarah. Awalnya, saya memiringkan kepala sambil bertanya dalam hati, “Sebuah pernyataan yang lucu untuk film bertaraf seperti ini.” Maka selanjutnya memang terjadi secara komedik.
Sebagai sutradara dan penulis naskah, Russell tahu bahwa tema yang ia bawakan memang kontroversial dan mengundang banyak perhatian janggal dari beberapa pihak. Cukup berat dengan ideologi yang akan ditempelkan, menyangkut jalan sejarah Amerika yang pernah menjadi sumber kekacauan. Untuk itu, Russell mengemasnya dalam cerita tiga sahabat ini. Mereka semua veteran perang. Saling mengobati dalam duka, saling merayakan dalam “suka” yang mereka buat sendiri. Dibawakan dengan alih-alih suasana yang “ringan”, maka Russell menjelaskan dalam cerita berdurasi 134 menit memadatkan ensembel yang ada, mencurahkan peristiwa duka yang dibawa secara komedi tetapi tak meninggalkan esensi yang terkandung di dalamnya. Hasilnya? Belum tentu memuaskan.
“Tak meninggalkan esensi di dalamnya” sendiri Russell hias dalam seni peperangan dan pemerintah yang tak lazim. Diceritakan Berendsen (Bale) adalah seorang dokter yang sering merawat veteran dengan pengobatan yang tak biasa: menggunakan bahan kimia berlebihan dan pengawetan dalam tubuh manusia. Valerie (Robbie) sendiri adalah perawat yang suka mengumpulkan bekas peperangan untuk ia ubah menjadi barang seni yang terlihat menyeramkan, tetapi tetap bernilai di matanya. Beberapa perangkat pemerintah dibuat menyamar dengan profesi yang jenaka: peneliti burung. Sebuah komedi aneh yang terlihat unik untuk menceritakan peristiwa sejarah.
“Apa yang pemimpin kuat inginkan sebenarnya?”
Satu lagi ialah perang dunia dan konspirasi. Veteran perang dikerahkan menjadi pemeran utama agar (ceritanya) penonton bisa merasakan perihnya perang, apalagi setelah perang selesai, mereka tak pernah dibayar dan dikucilkan seadanya. Lalu, beberapa di antara mereka berhenti hidupnya di situ atau menjadi sukses sendirinya dengan kerja keras gigih seperti tiga karakter utama kita. Lalu, siapa menyangka pembunuhan jenderal sendiri bisa menyeret mereka kepada wacana pergeseran ideologi negara Amerika Serikat yang kala itu digoncangkan oleh pengaruh Nazi dan Jerman-nya yang cukup besar di dunia ini. Ada sekumpulan orang yang ingin membuat Amerika menjadi negara yang fasisme. Petinggi kaya itu merasa memiliki hak untuk mengubah pemerintah dan segala perintilannya sesuka hati. Andil mereka dikerahkan untuk menjadikan beberapa orang yang mereka pilih menjadi pemimpin Amerika dan dunia tanpa harus memenuhi pemilu yang demokratis. Penyelidikan dan penelusuran terhadap akar kasus ini terbilang sangat seru untuk satu jam pertamanya dengan dikenalkannya banyak pemain baru yang terlibat membuat fokus ceritanya bercabang tanpa henti. Yap, cerita ini mulai menunjukkan kekurangan terbesarnya.
Cerita Russell satu sisi ingin menunjukkan persahabatan Valerie, Bert, dan Harold yang terbentuk di Amsterdam dengan lekatan yang menurut mereka jarang terpisahkan. Akan tetapi, sejak awal, koneksi itu jarang dibangun dengan baik. Penonton akan langsung dihadapkan dengan rentetan pengejaran tanpa henti dengan kondisi karakter yang jarang untuk disebut wajar. Memantik tawa penonton dalam komedi “ringan” di balik masalah konspirasi Perang Dunia yang krusial dan hanya menjadi pemanis dangkal semata yang sebenarnya bisa memantik pendukung ideologi itu untuk keluar memberontak. Naskahnya yang kompleks akan menjejalkan semua permasalahan dalam “whodunnit” yang sekiranya bisa memantik, tetapi keterlibatan penonton disini bahkan tak banyak disini. Berdampak pada durasi yang memang melelahkan untuk menikmati ceritanya, audiens hanya diajak melihat sejarah yang ada tanpa harus memaknai lebih dalam. Sekalipun ada momennya, ia tak banyak membantu.
Lagi-lagi walaupun ensembel yang ada memang sudah terlampau berkelas. Sebentar. Mari kita dikte: Christian Bale, Margot Robbie, John David Washington, Rami Malek, Mike Myers, Taylor Swift, Zoe Saldana, Robert De Niro, Anya Taylor-joy, Chris Rock, Michael Shannon. Mereka tak bisa membantu lebih apabila narasinya sudah mengkotak-kotakkan karakternya untuk hadir dalam bagian itu-itu saja. Sekalipun arahan kamera menakjubkan dari seorang Emmanuel Lubezki yang pernah memenangkan Oscars tiga tahun berturut-turut atas Birdman, Gravity, dan Revenant ini diandalkan, Russell tak bisa memungkiri bahwa filmnya kini hanya terlampau pamer ensembel pemain, tetapi ceritanya sendiri jarang bisa menyatukan topik kompleks yang ia bawakan. Bahkan, judul ‘Amsterdam’ sendiri seolah hanya menjadi bahan olokan bagi persahabatan tiga orang ini yang berasa tidak mempunyai masalah bahkan setelah berkumpul di Amsterdam. Mungkin itu hanya sekadar masa lalu yang menurut janji Bert, Valerie, dan Harold ini tak boleh dikenang kembali. Alhasil, sejarah persahabatan dan “Amsterdam” mereka adalah bualan semata yang tak penting untuk dikenalkan kembali pada penonton.
Amsterdam tak punya maksud apa-apa. Ia hanya menjadi latar belakang cerita tiga sahabat yang penuh imajinasi akan hidup mereka yang jarang untuk disebutkan. Bisa dihitung jari berapa kali kata “Amsterdam” disebutkan ketika mereka merujuk bagaimana persahabatan yang kuat mampu terjalin di sana. Ia kosong, jarang menggaet hati penonton secara keseluruhan. Dengan ensembel yang sejatinya punya performa terbaik, mereka tidak bernilai apa-apa apabila hal yang diusut bukanlah sebuah penceritaan yang baik. ‘Amsterdam’ hanya memperlihatkan bagaimana negara Amerika yang berjuang melawan ideologi Jerman yang kejam dalam fasismenya, menilainya dari sekumpulan veteran perang yang bahkan tak disebutkan pernah berkumpul di Amsterdam. Apalah artinya loteng dengan segelintir momen persahabatan (dan cinta) di dalamnya bisa disebut Amsterdam. Sebuah komedi yang lucu.