Autobiography: Seram Tanpa Setan
Ditulis oleh kru Fadhal (Kru ‘22)
Rakib (Kevin Ardilova), sosok pemuda yang ditugaskan menjaga villa milik pensiunan jenderal bernama Purna (Arswendi Bening Swara). Keluarganya yang secara turun temurun bekerja pada keluarga Purna, membuatnya turut mengabdi padanya. Ayahnya yang dipenjara dan kakaknya yang bekerja jauh di luar negri menjadikan Rakib bertumbuh kembang tanpa sosok mentor di hidupnya.
Perjumpaan pertama kali kita dengan Rakib, ia tampil lugu, sederhana dengan bertelanjang dada menonton pertandingan catur melalui layar monitor yang kemudian disusul dengan kedatangan Purna dengan mobil Toyota Fortuner miliknya. Kedatangan Purna ia sambut dengan senyuman hangat bak berjumpa dengan sosok mentor yang ia nanti-nantikan. Rakib dalam hal ini, tampill seperti sebuah gelas kosong dan Purna lah yang akan mengisi gelas tersebut.
Purna sendiri merupakan sosok pensiunan jenderal yang enggan untuk beristirahat. Kehadirannya kembali ke desa untuk mengajukan diri sebagai bupati menjelaskan dan seakan mempertegas obsesinya untuk terus berkuasa dan enggan untuk pensiun. Ia memerintahkan untuk memasang baliho-baliho di penjuru desa dengan muka yang terpampang jelas, yang ia perhatikan hanyalah mukanya seperti penyakit kebanyakan pemimpin di negeri ini.
Hampir absennya tokoh perempuan dalam film ini menjadikannya sebagai film yang penuh dengan bahasan-bahasan toxic maskulinitas. yang menyeluruh dari ranah masyarakat hingga privat. Relasi yang dibangun antar karakternya berpegang pada pandangan bapakisme yang menjelaskan perihal relasi kuasa yang dibangun. Hubungan Purna dan Rakib sebagai perwujudan bapak-anak, rasa kepatuhan, dan penghormatan serta obsesi otoriter militerisme a la orde baru menjadi fokus utama dalam film ini. Penjabaran relasi kuasa dan politik di negeri ini diterjemahkan melalui hubungan bapak dan “anak angkat” ini. Keduanya menjadi gambaran seperti apa rasanya memiliki kuasa dan bagaimana cara memperalatnya. Sebuah gambaran relasi ketimpangan kuasa yang menjalar pada aspek-aspek keseharian, terkesan memukau namun juga mengancam. Kampung yang mati lampu dan villa diatas bukit yang menyala terang, pilihan minum kopi atau teh, hingga kemurkaan sang jenderal ketika baliho miliknya dirobek.
Purna sebagai sosok ayah tanpa anak laki-laki dan sosok pemimpin yang tentunya menginginkan kehadiran anak laki-laki untuk mewarisi kekuasaan yang ia bangun. Ia lantas menjadikan Rakib sebagai autobiography miliknya. Rasa cinta Purna terhadap Rakib ia tunjukkan dalam adegan yang intim dan hangat melalui pembicaraan rahasia keduanya dan sesi karaoke “Kaulah Segalanya”, bahkan ia tak rela jika ia harus kehilangan Rakib. Dipakaikannya ia seragam miliknya dahulu, diajarkannya ia mengatur strategi, bahkan ia memberikannya warisan yang sangat besar, yaitu kuasa. Rakib tak seperti namanya sebagai malaikat pencatat amal baik, alih-alih ia justru mencatat dan mengikuti setiap langkah yang diarahkan oleh Purna. Rakib sebagai pemuda kelas bawah hanya bisa patuh bahkan terpesona terhadap sosok Purna hingga ia terbuai dengan mobilitas sosial yang ia dapatkan. Pergulatan antara Purna dan Rakib ditampilkan secara apik, menggigit, menegangkan dan mengajak untuk berpikir layaknya pertandingan catur. Kompleksitas hubungan keduanya yang sangat erat dan manipulatif, terbuainya Rakib sampai lampu merah yang ia nyalakan, pergulatan batin Rakib untuk melepas pasungnya, hingga babak pay off yang mendebarkan menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kuasa terhadap suatu individu.
#SeramTanpaSetan, Autobiography menyajikan kengerian dan rasa cemas tiap kali tokoh-tokohnya bertindak. Bahkan, beberapa teror justru hadir secara verbal melalui kata yang terkesan sepele seperti kata “maaf” dan “orang baik”. Sosok yang manipulatif, arogan, dan intimidatif menjadi tema utama kengerian yang dibangun. Jika dipikir-pikir, tidak ada satupun karakter yang tidak manipulatif. Kengerian yang dibangun terasa otentik, dekat, dan nyata. Militer dalam politik menjadi pondasi kedekatan isu serta teror yang dibangun dengan penontonnya. Mengingatkan pada kondisi politik yang pernah terjadi. Simbol seragam sebagai suatu hal yang disegani terutama dalam wilayah pedesaan menjadikan tokoh-tokoh yang mengenakannya memiliki kuasa yang lebih tinggi dan berujung arogan. Arogansi akibat rasa memiliki kekuasaan yang ada. menjadikannya hingga pada hari ini masih marak terjadi persinggungan antara militer dan rakyat. Teror yang ada dalam film ini hadir bagi mereka yang berani melawan dan kebanyakan terjadi kepada kaum kelas bawah. Makbul dalam hal ini cukup piawai dalam merangkai sekuensial teror yang ada. Adegan-adegan kekerasan yang hadir secara off screen tampil menggigit dan menggugah imajinasi penonton.
Arswendi dan Kevin Ardilova tampil memukau sebagai pemeran utama dengan kompleksitas dan dinamika hubungan sosok mentor dan “anak angkat” yang kuat dan otentik. Tiap-tiap karakter yang hadir mampu diperankan dan tampil inspiratif, believable, dan dekat berkat tangan dingin Gunawan Maryanto sebagai acting coach. Melalui Autobiography pula kita menyaksikan penampilan terakhir sang maestro almarhum Gunawan Maryanto.
Autobiography tampil matang melalui teknis-teknis yang ditunjukkannya. Tak hanya dalam sisi peran, aspek naratif tampil begitu rapih, tersusun secara apik, tiap-tiap dialog dan pengadeganan hadir dengan efisien, esensial, dan bermakna. Kompleksitas pengadeganan dijahit dengan rapi melalui editing yang mampu menjaga tempo film yang lambat agar tidak melelahkan, dan berjalan terbata-bata dengan tetap mengikat perhatian penonton. Adegan-adegan yang hadir dibawakan dengan tempo yang stabil, tenang, dan menghanyutkan sejak adegan pembuka hingga babak ketiga yang mengancam dan menegangkan hingga konklusi yang jelas.
Aspek sinematografi dalam film ini menjadi salah satu hal terbaiknya. Permainan kamera yang terkadang terkesan seperti film dokumenter semakin mendukung aspek naratif yang ada. Melalui framing yang sempit, penggunaan refleksi cermin, dan latar belakang yang sangat kabur nan gelap semakin mendukung pesan yang ingin disampaikan serta kengerian dan rasa intimidasi yang ditimbulkan. Aspek suara latar belakang turut mendukung tiap-tiap adegan yang ada, melalui soundscape yang atmospheric dan terkadang hadir tanpa musik latar belakang nan sunyi yang justru semakin menambah kengerian yang ditampilkan. Makbul turut memberikan detail-detail kecil melalui aspek semiotik melalui simbolisme yang turut memperjelas dan menegaskan karakter dan cerita yang ia ciptakan, melalui refleksi cermin, papan catur, penamaan karakter, baliho, Mobil Fortuner hingga bekas kacang sekalipun.
Perpaduan teknis peran, editing, sinematografi, dan musik scoring yang dihadirkan secara tak terburu-buru dan perlahan mencengkram tersebut, mampu memberikan kesempatan bagi penonton untuk masuk dan meresapi pesan yang ingin disampaikan oleh sang pembuat film. Sebagai film thriller, Autobiography mampu memberikan rasa cemas yang konsisten sepanjang durasi film berjalan dengan aftertaste yang tidak mengenakkan.
Sebagai film panjang perdananya, Makbul Mubarak tampil terampil dan paham dalam menyampaikan isu dan pesan yang ingin ia utarakan. Autobiography ia terjemahkan sebagai bentuk komentar terhadap kondisi politik Indonesia yang tak pernah berbenah dan mempertanyakan pengulangan kekelaman politik masa lalu yang kembali hadir pada masa kini serta nasib generasi muda. Politik sebagai isu yang dekat dan akan selalu ramai diperbincangkan bahkan dari skala terkecil pun, menjadikan Autobiography sebagai film yang dekat dan cerminan terhadap kondisi yang ada pada hari ini.