Barbie: Pink yang Provokatif
Ditulis oleh Fadhal (Kru’22)
Barbie belakangan ini menjadi perbincangan panas karena dianggap sebagai film yang provokatif, anti-male, dan dicap sebagai film “woke”. Sayang jika melihat Barbie dan menyimpulkannya hanya sebatas demikian dan tak membuka pikiran pada isu yang sebenarnya diangkat. Secara fundamental, Barbie menempatkan isu keseharian manusia, terutama perempuan dalam menghadapi kesulitannya melalui ilustrasi boneka plastik dalam dunianya yang serba pink. Barbie adalah sebuah metafora penuh satir terhadap dikotomi nilai-nilai abstrak manusia dalam melakukan peranan gender.
Dalam kisah agama abrahamik, Tuhan menciptakan Adam sebagai manusia pertama, seorang laki-laki yang diciptakan dari tanah lalu ditiupkan ruh padanya. Adam yang kemudian merasa kesepian, dari tulang rusuknya, diciptakanlah sosok perempuan pertama bernama Hawa sebagai pendampingnya.
Melalui teori penelitian sejarah, pada era Paleolitikum (Zaman Batu Tua), manusia mulai hidup berkelompok, nomaden, dengan adanya pembagian peran berdasarkan gender dalam memenuhi kehidupannya. Laki-laki memiliki tugas untuk berburu dan meramu, sementara perempuan mengumpulkan dan menyeleksi buah-buahan yang dapat dimakan serta memelihara anak-anaknya.
Baik dari sisi teori sejarah, maupun pendekatan agama, terdapat peranan yang dibagi berdasarkan gender. Sosok laki-laki mendapat porsi sebagai sosok pemimpin atas sebagian kaum perempuan. Dengannya, kemudian muncul sebuah konsep patriarki yang masih langgeng hingga hari ini.
Dalam dunia Barbie, semuanya tercipta berlawanan. Barbie diciptakan sedari awal sebagai wujud feminisme akan peranan sosok perempuan yang berdikari. Barbie adalah wujud, citra, dan mimpi bahwa perempuan dapat bertindak, berprofesi, dan memilih kehidupannya sendiri. Barbie sedari awal adalah produk tunggal atas manifestasi mimpi perempuan, dan Ken muncul kemudian sebagai aksesori pelengkap Barbie yang paling laris di pasaran.
Barbie Land adalah dunia “utopia” ketika sistem matriarki justru berkuasa. Dalam dunia plastik pink ini, perempuan dapat bersuara lantang untuk menjadi apapun yang mereka mau, perempuan memiliki hak suaranya, hingga memegang kendali kepemimpinan. Perempuan dirayakan dalam penuh suka cita melalui keberagaman mereka tanpa adanya rasa takut atau bahkan berpikir soal kematian.
Barbie Land ciptaan Greta Gerwig mengajak penontonnya kembali bermain dengan boneka kesayangan kita semua. Dunianya diciptakan dengan rasio, skala, dan gestur yang otentik selayaknya sebuah mainan dalam dunianya yang hidup. Para Barbie dan Ken bertindak selayaknya mereka sedang dimainkan oleh anak-anak tanpa adanya tangan raksasa dari langit. Mainan-mainan yang saling bertumbukan dan terpental, absennya elemen alam, semuanya sangat meta, campy, dan penuh humor. Banyak hal dan pertanyaan yang terjadi baik dalam Barbie Land maupun dunia nyata yang berparalel dan bertolak belakang, Barbie dan Ken meresponsnya selayaknya seorang anak yang belum secara sempurna mengerti hal-hal demikian atau bahkan hanya menjelaskan suatu perasaan dalam sebuah kata.
Selayaknya mainan anak-anak itu sendiri, Greta menjelaskan konsep tentang peranan gender, feminisme, patriarki, dan perihal eksistensi diri sebagai sebuah pengenalan dan pedoman awal yang mudah dimengerti. Greta mendekonstruksi boneka Barbie dan Ken dalam nilai-nilai abstrak dan ideologinya dalam petualangan menuju dunia nyata yang patriarkis. Barbie ketika mendapati kakinya yang tak jinjit, pahanya dikepung selulit, hingga munculnya pemikiran mengenai kematian telah melucuti konteks abstrak dalam dunia Barbie Land, ia dipaksa untuk dewasa menuju petualangan coming-of-age dalam mengetahui semesta yang luas dan mengenal rasanya menjadi manusia.
Perjalanannya meninggalkan dunia gemerlap menuju dunia nyata dan realitanya yang pahit selayaknya seorang anak yang hidupnya baik-baik saja kemudian berubah 180 derajat. Dalam perjalanannya, Barbie dituntut untuk mengenal dan merasakan menjadi perempuan, menjadi manusia. Timbul perasaan-perasaan yang menyakitkan, tetapi ia juga menemukan keindahan dibaliknya. Barbie dalam dunia nyata menjadi sebuah fenomena besar setelah kakinya kini menapak pada tanah, eksistensinya membawa nilai dan komentar satir akan peranan perempuan di dunia nyata yang sayangnya tak sebebas dalam Barbie Land. Ia berkonfrontasi pada kenyataan pahit dunia yang bertolak belakang, misoginis, hipokrit, kusam, terkotak-kotak, dan peranan perempuan yang tergantikan oleh laki-laki.
Sedangkan Ken, ia sebagai sosok yang termarginalkan dalam Barbie Land justru mendapati sebuah perayaan dan kesenangan tersendiri dalam dunia nyata yang patriarkis. Melalui pemahamannya yang dangkal ia mengambil nilai-nilai patriarki yang ia anggap keren dan maskulin. Nilai baru yang ia ambil kemudian ia bawa dalam dunia matriarki Barbie Land dan secara singkat merubahnya dengan nilai barunya. Nilai maskulinitas bak seorang koboi menunggangi kuda, membawa sebuah perubahan besar bagi individu yang kosong tanpa sebuah peranan sosial.
Kedua nilai yang dibawa oleh Barbie dan Ken kembali bermuara dalam gemerlap dunia Barbie Land. Ketika dunia yang dikenal Barbie kini tak ada bedanya dengan dunia nyata yang kusam, ia kini belajar bagaimana menjadi yang termarjinalkan dalam lingkungannya sendiri. Greta menafsirkan keabsurdan pengalaman Barbie dan Ken pada nilai baru yang kompleks dengan caranya yang ringan melalui humor, pesta dansa, dan pertunjukan musikal. Melalui caranya, ia mengajak penontonnya untuk turut merasakan kekurangan dan rasa termarginalkan pada suatu sistem yang dominan dengan bersama menertawakan dan mengernyitkan dahi pada pemahaman yang absurd tersebut. Greta mengajak Barbie dan Ken pada pemahaman tentang eksistensialisme diri yang membawa mereka pada alasan mengapa Barbie, Ken, dan Barbie Land dalam kekacauan.
Barbie yang memboyong sosok ibu dan remaja perempuan dalam dunia Barbie Land, membawakan sebuah pemahaman yang jujur dan tulus tentang makna menjadi perempuan itu sendiri. Dalam momentum waktu yang tepat, hadir sebuah monolog yang jujur, sederhana, tepat guna, dan mengandung kebenaran yang menyadarkan para Barbie makna atas diri mereka sejatinya. Pemahaman atas jati diri yang kemudian membuka momen kesadaran atas nilai menjadi dominan atas sebagian lainnya adalah hal yang tidak perlu. Momen transendental pada Barbie dalam menemukan kebermaknaan hidup membawa pelajaran akan pahitnya hidup yang terkadang akan bertentangan pada nilai-nilai abstrak lainnya dan membawanya pada masa-masa yang sulit. Nilai yang sama kemudian diturunkan pada Ken menjadi eksistensi yang kini mendapati nilai yang sama untuk menjadi diri sendiri dan menemukan makna hidupnya. Barbie dan Barbie Land telah mengajarkan kita untuk dapat menjadi apa saja dan bertindak dengan adil tanpa adanya pembatas peran berdasarkan gender.
Barbie sendiri bukanlah film yang sempurna, masih banyak hal-hal yang sebenarnya mengganjal seperti humor dan penggambaran yang terlalu keamerikaan, perubahan karakter remaja yang secara tiba-tiba, hingga karakter dunia nyata yang terlalu komikal.
Selayaknya film ini sendiri, Stereotipikal Barbie juga bukanlah sosok yang sempurna, ia kemudian memilih jalannya sendiri pada momen transendental tubuhnya yang kemudian menerima dirinya yang harus menapakkan kaki pada tanah, pahanya yang dikepung selulit, dan ia harus menerima bahwa ia akan mendapati kematian. Barbie telah merayakan menjadi manusia itu sendiri. Secara jenius film ini pun ditutup melalui dialog cerdas secara komedi dalam memaknai proses transendental Barbie yang harus mengenal tubuhnya dalam menjadi perempuan yang sejatinya.
Barbie memberikan perasaan hangat yang penuh keriangan, membawa kita dalam pengalaman diri yang terdapat pada nilai-nilai boneka Barbie dan Ken. Perjalanan Barbie yang selayaknya cerminan pada dunia nyata, membawa kita untuk lebih mengenal dalam menjadi manusia melalui sebuah konsep yang di atas kertas terdengar absurd melalui pemahaman boneka plastik. Namun, darinya kita seolah-olah kembali menjadi anak-anak memainkan boneka plastik tersebut seraya memahami rasa dan memahami jati diri. Sebuah pengalaman yang genuine membawa kita dalam perjalanan yang utuh, penuh makna, penuh arti, dan melihat kembali nilai-nilai yang kita anut.