Catatan Kegiatan Kintalk: ‘Industri Perfilman dan Streaming Services di Kala Pandemi’
Kintalk kelima ini merupakan acara diskusi pertama yang diselenggarakan secara daring melalui platform Google Meet. Topik yang diangkat adalah ‘Industri Perfilman dan Streaming Services di Kala Pandemi’. Diskusi ini bertujuan untuk memberikan insights mengenai bagaimana keberjalanan industri perfilman di masa pandemi COVID-19 dan dampaknya pada streaming services yang saat ini sangat banyak peminatnya. Diskusi ini mengundang Agung Sentausa (kepala pembiayaan film Badan Perfilman Indonesia) dan Ekky Imanjaya (dosen dan kritikus film). Kintalk ini dihadiri oleh 59 peserta.
Sesi Pemaparan
Pada sesi pemaparan ini, Agung Sentausa mengatakan bahwa online video streaming meningkat sebanyak 60% selama adanya pandemi di asia tenggara. Indonesia asia pasifik koneksi internetnya paling rendah. Pandemi ini sangat menguntungkan bagi OTT, namun mengerikan bagi pemilik bioskop. Sekarang, semua interaksi ada di media audio visual. Orang-orang akan bosan dan jenuh karena kebanyakan lihat layar. Nonton film artinya bisa sgt luas. Semua negara akan berlomba-lomba untuk menyediakan konten yg bisa ditonton untuk masyarakatnya. Dulu menonton film di bioskop menjadi sebuah pelarian dari realita, sekarang orang bisa lari dari realita ini bahkan dari toilet/wc. Sekarang pertanyaannya, experience apa yang berbeda dari menonton di bioskop dan di tempat lain. Ini tentunya akan mempengaruhi juga ke jenis konten yang dibuat, dan ketika semua orang membuat tipe konten yang sama akan terjadi over-saturation. Pandemi ini sebenarnya mempercepat proses transisi kita ke teknologi yang sudah maju (dalam hal ini, streaming service).
Berdasarkan Ekky Imanjaya, karena bioskop tutup tidak hanya OTT yang jadi berkembang, tetapi situs-situs film ilegal juga ikut berkembang. Apakah benar streaming services atau OTT (over-the-top media services) jadi solusi masa depan? Buktinya HOOQ mati, masih banyak yg ke ilegal. Masih gak jelas film A ada di OTT mana, film B di OTT mana. Buat OTT belum ada pemetaan yang membimbing kita untuk nonton film apa, di mana, dan berapa harganya. Sebenarnya sudah ada upaya untuk menolong para pekerja film. Karena tentunya produksi film harus tetap jalan untuk para pekerja-pekerja dan pelajar-pelajar film. Berbagai instansi sudah banyak yang memulai festival-festival skala kecil. Ada juga pitching online yang mulai marak saat-saat ini. Adanya peralihan, ketika gak bisa produksi, ada peralihan yang dikerjakan.
Sesi Tanya Jawab
Bioskop AKB bakal banyak regulasi, Sementara orang udah nyaman dg streaming service?
Ekky Imanjaya: Dulu ada namanya Straight to Video, jadi film ini ga masuk bioskop langsung ke bentuk video. Film-film Indonesia dulu bisa langsung dikirim ke luar negeri dan dipasarkan disana. Walaupun ga se-bergengsi film bioskop. Kalau bioskop tuh kita sudah tau nanti ada film apa, di mana jam berapa. Di sisi lain, OTT tuh kaya lembah belantara, kita harus cari-cari dulu mau nonton apa, cari juga mau nonton dimana. Ada film yang memang premier-nya online, bahkan beberapa film udah berani bilang bahwa akan release di bioskop nantinya. Jadi ada kemungkinan juga ke depannya akan ada juga film-film yang Straight to OTT.
Agung Sentausa: Sebenarnya memang sudah ada film yang memang dibuat untuk release di OTT. Dulu waktu semua orang baru punya TV, film di bioskop ada peningkatan seperti memperbesar layar atau memperpanjang durasi, ada juga yang memaksa ada musical dance (seperti di India). Hal ini ada karena penonton harus mendapat yang setara dengan harga tiket yang mereka bayarkan.
Secara gak langsung kita akan membedakan nonton di bioskop dengan biaya 30–50 ribu rupiah yang harus bayar ongkos dan lain-lain, dan ada juga yang bisa kita akses dimanapun dengan gratis dan kalau berlangganan hanya seharga 100–200 ribu, tapi mendapat perpustakaan film yang saking luasnya kita jadi bingung mau cari apa. Masalahnya pengalaman menonton secara online ini dengan layar yang kecil akan dibandingkan dengan pengalaman menonton di bioskop dengan layar yang lebar, ruangan yang gelap dan fasilitas suara dolby atmos. Sepenting apa kita menonton film-film yang tidak menggunakan cgi, lokasi dan visual yang di misal gunung himalaya, kalau ga ultra wide screen. Ini mungkin akan mempengaruhi cara film dibuat yang straight to ott tadi.
Di iflix jumlah penonton film-film berbahasa Indonesia jauh lebih banyak daripada film-film berbahasa asing, di VIU kompetisi film pendek tentang mitos-mitos di Indonesia mendapat penonton yang jauh lebih banyak daripada film-film panjang dan film lainnya yang tidak berbahasa Indonesia. Ini adalah disrupsi yang luar biasa, sedang terjadi perubahan yang revolusioner yang terjadi di ekosistem audio visual di dunia. Saya jadi membayangkan bahwa bisa jadi film-film pendek itu muncul kembali di bioskop. Investor juga lagi repurposing tujuan investasinya, jadi mencoba investasi ke film-film pendek, karena sekarang juga sudah banyak OTT yang sudah menyediakan film untuk snacking yang durasinya hanya 2–20 menit. Sekarang industri perfilman makin dituntut untuk kreatif karena pandemi, budgetnya semakin kecil, pemain harus berjarak, gak boleh ada ciuman atau pegangan tangan mungkin.
Ekky Imanjaya: Menarik soal slot ini, sekarang tuh malah film yang kepanjangan akan kesulitan karena akan memakai 2 slot. Tapi menarik juga tuh film-film pendek yang cuman setengah jam. Bisa juga ada alternatif ruang-ruangan kecil kapasitas 5–10 orang untuk dijadikan tempat menonton seperti bioskop kecil.
Menurut saya bioskop tidak bisa digantikan karena ada beberapa film yang memang menurut saya wajib nonton di bioskop. Ada juga semacam ‘ritual’ atau kebiasaan ke bioskop bareng teman/keluarga, semacam social gathering ga cuman nongkrong-nongkrong doang. Ada peristiwa sosial budaya tadi yang memang ga bisa digantikan dengan OTT.
Di masa-masa pandemi ini kan lagi banyak yang pakai streaming service, salah satunya yang paling banyak dipakai itu kan netflix. Kira-kira kenapa ya kalo di Indonesia itu kaya ada masalah gitu dengan netflix?
Agung Sentausa: Kalau dari netflix itu sendiri, tentu mereka memetakan pasar. Indonesia punya penduduk yang terbanyak ke-4 di dunia. Jadi tentunya netflix juga mau mengambil pasar ini. Tapi ajaibnya di Indonesia akses internet lumayan rendah dan lambat, mungkin ini juga yang jadi pertimbangan. Netflix dan Disney meminta Indonesia mengubah undang-undang tentang larangan dubbing bagi film-film bahasa asing kecuali untuk pendidikan. Indonesia ingin pertahanan rakyat semesta, tidak mau konten-konten asing jadi mudah ditonton oleh orang-orang di pelosok. Konten-konten yang dimiliki netflix hanya yang berbahasa asing, artinya jika ingin ada film berbahasa Indonesia harus kolaborasi dengan filmmaker lokal, yang artinya lagi harus bikin film baru yang butuh investasi. Kebanyakan OTT masih bakar uang, sementara internet di Indonesia masih rendah. Jadi mungkin langkah yang mereka ambil adalah langkah perlahan sambil melobi pemerintah Indonesia. Jadi salah satu pertimbangan bahwa OTT harus ada kantor resmi di Indonesia dan pajak juga.
Terus buat industri film pendek sendiri apakah lebih banyak kesempatannya atau sama seperti sebelum pandemi ini?
Ekky Imanjaya: Menurut saya kalau udah banyak kerja sama dengan kemendikbud, kita tinggal tunggu saatnya aja. Kalau untuk film pendek, inilah saatnya. Roger Corman pernah buat quarantine film festival dan hasilnya juga bagus-bagus. Saat untung melalang buana kita selama di rumah aja, karena banyak juga festival, kompetisi, sampai workshop yang bisa dilakukan online.
OTT kan masih bakar duit, kenapa netflix bisa segemilang ini karena sudah menjadi eksklusifitas, apakah model bisnis seperti netflix bisa dipake di OTT lokal? Apakah OTT lokal bisa menggaet nama-nama besar seperti Martin Scorsese begitu?
Agung Sentausa: Netflix itu perusahaan film, secara umum mereka pengusaha film. Target mereka itu global. Indonesia pasti bisa, tapi hanya melihat untuk pasar Indonesia, akan cuman dikonsumsi sama orang Indonesia aja. Netflix ketika mau mendapat pasar dunia akan mengeluarkan modal yang besar, kalau OTT lokal mau juga mendapat pasar dunia modalnya harus besar juga.
Terus tadi sempat dibilang “Sekarang banyak investor yang pindah ke short movie,” investor-investor yang gimana sih? Soalnya banyak investor yang menomor akhirkan acara-acara yang ‘crowded’ seperti film gitu.
Agung Sentausa: Untuk film pendek/alternatif, kita masih bingung menyikapi kata komunitas. Komunitas itu sebagai hobi, seringnya sangat personal, dan akhirnya tidak merasa perlu untuk berkompetisi. Ketika memutuskan untuk membuat film yang profesional maka mereka akan me-scale up kompetensi dan hasil karyanya. Untuk investor, pertanyaannya apa yang baru dari film pendek itu, sehingga investor bisa mencari profit. Inovasinya ada dimana, sebagai penonton kenapa harus ditonton, marketingnya mau gimana. Tugas terbesarnya : men-scale up kompetisi, bukan berarti budget harus mahal, tapi yang pasti harus menjual ide yang baru, brillian, dan engaging buat penonton. Hobi film gabisa cuman sekedar cuman pengen bikin film, tuntutannya jauh lebih dari itu.
Kira-kira bagaimana proyeksi kedepannya untuk film-film alternatif karya filmmaker Indonesia? Apakah film-film alternatif ini akan menjadi konsumsi penikmat film kedepannya? Kalau dari sudut pandang investor film saat ini bagaimana?
Ekky Imanjaya: Saya sekarang semakin gak percaya bedanya film komersial dan film festival. Setiap film pasti ada penontonnya, festival film juga mengakomodir berbagai jenis-jenis film. Ketika kita mau buat film yang kira-kira gak akan laku secara komersil, tapi ada jalur sendiri bisa didiskusikan saat pitching mulai dari cerita sampai distribusinya. Film alternatif itu harus dicari mau kemana distribusinya. Harus cari festival-festival yang mengakomodir film-film alternatif lagi. Harus pintar-pintar cari investasi dan jalurnya kemana. Jadi harus tau festival2 mana yang memberikan pendanaan tertentu sudah dijadikan buku oleh dewan kesenian jakarta namanya “ Direktori Festival Film,” disitu dikasih tahu festival mana pitching forumnya ada tentang apa aja. Semua film punya jalannya sendiri, funding, penonton dan festivalnya sendiri. Festival film online harusnya dijadikan kesempatan buat cari informasi-informasi pitching forum. Bisa coba download “Menjegal Film indonesia” di findingjakasembung.co.uk sama “Direktori Festival Film.”