Catatan Pemutaran Bioskop Kampus: Aruna & Lidahnya

Kineklub LFM ITB
2 min readFeb 27, 2019

--

Source: Dokumentasi Sosial LFM ITB

Bioskop Kampus yang spesial tentu harus membawa sesuatu yang spesial atau setidaknya berbeda. Memang, dalam pemutaran kali ini telah ditayangkan film komersil yang sudah lama tidak diputar di Bioskop Kampus. Atas dasar ingin mencoba meneruskan kebiasaan tersebut, Bioskop Kampus menghadirkan film komersil Aruna dan Lidahnya yang disutradarai Edwin ke dalam ruang 9009. Pemutaran dilaksanakan pada tanggal 9 Februari 2019 dan dilanjutkan dengan sesi diskusi serta temu komunitas.

Film mulai diputar pada pukul 16.15 WIB. Pada sore itu, 155 penonton — terdiri dari warga kampus dan anggota komunitas — telah memenuhi bangku yang tersedia. Selesai film diputar, acara lalu diteruskan oleh MC yang mengadakan kuis berhadiah. Selanjutnya, sesi diskusi dimulai. Sesi ini diampu oleh Alfarizki Qodri dari LFM ITB selaku moderator. Dua pembicara yang hadir ialah Asra Wijaya dari ISH Tiang Bendera ITB dan Mikhail Anthony sebagai perwakilan LFM ITB.

Sesi diskusi bertujuan untuk menyebarkan wawasan pada audiens tentang topik naskah film yang diadaptasi dari buku. Topik ini dikira adalah salah satu bahasan menarik dari film Aruna dan Lidahnya dan cukup relevan dibicarakan karena didapati narasi film-film komersil yang laris di bioskop cukup banyak diadaptasi dari novel. Salah satu titik balik dari adaptasi novel menjadi film (atau disebut ekranisasi) ini ialah tahun 2008, ketika film Ayat-Ayat Cinta dan Laskar mendulang sukses dari segi jumlah penonton. Keduanya adalah hasil adaptasi dari novel (yang sudah laris dahulu) menjadi film. Industri perfileman akhirnya banyak yang meniru tren ini, salah satunya agar film yang diproduksi laris mengikuti bukunya. Ekranisasi pun terkesan cuma alat untuk produsen mencari keuntungan.

Padahal, jika dicermati lebih jauh, ekranisasi bukan hanya itu. Ekranisasi di Indonesia sudah lama terjadi, bahkan film pertama hasil adaptasi Eulis Atjih diproduksi tahun 1927. Namun, faktor prevalensi buta huruf pada masyarakat dan sastra populer yang belum berkembang menyebabkan adaptasi tidak banyak dilakukan. Ekranisasi juga tidak harus dilakukan hanya pada karya populer. Ada beberapa karya sastra kanon seperti Salah Asuhan dan Atheis yang akhirnya difilmkan. Sastra Ronggeng Dukuh Paruk yang diadaptasi jadi film Sang Penari juga salah satu contoh lain. Telah disebut oleh Christopher Woodrich dalam tulisannya di Cinema Poetica, “film yang dihasilkan cenderung mengangkat novel yang belum lama terbit, tetapi tidak selalu; film yang dihasilkan cenderung mengangkat novel populer, tetapi tidak selalu; dan film yang dihasilkan cenderung diangkat dari novelnya langsung, tetapi tidak selalu”.

Praktik ekranisasi memang tidak punya pakem yang jelas, namun ia tetap relevan didiskusikan. Diharapkan diskusi pada pemutaran Bioskop Kampus Spesial dapat memberi hal baru pada audiens terkait topik ini.

--

--

Kineklub LFM ITB
Kineklub LFM ITB

Written by Kineklub LFM ITB

Kanal diskusi, kritik, dan apresiasi film oleh kru Liga Film Mahasiswa ITB. https://linktr.ee/kineklub

No responses yet