Dear to Me: Vakansi Yang Janggal dan Mimpi-Mimpi Tim Lainnya

Kineklub LFM ITB
5 min readAug 31, 2021

Urusan cinta dan Tuhan kadang sulit dipisahkan, apalagi jika kamu jatuh cinta di Indonesia. Melabuhkan pilihan, opsi, preferensi, orientasi, atau apapun sebutannya, bukan urusan satu orang yang mencintai dan orang lain yang dicintai saja. Bisa jadi urusan mereka dalam satuan keyakinan, budaya, status sosial, atau malah kadang jadi urusan negara. Yang menyimpang ditentang. Yang “beda” disumpah ke neraka, seakan yang menyumpah berhak mendapat surga. Lewat Dear to Me (2021), sutradara Monica Vanessa Tedja memotret ketika seksualitas dipersoalkan dan didisiplinkan.

Dear to Me mengajak kita hadir dalam liburan spiritual keluarga Tim (Jourdy Pranata) di sebuah resort pinggir pantai. Besar di keluarga Kristen, Tim dianggap “tersesat” dan berusaha disatukan kembali bersama keluarganya ke jalan Tuhan. Ayah dan ibu Tim, seperti kebanyakan umat beragama yang taat, menganut nilai-nilai heteronormatif yang berseberangan dengan identitas dan nilainya sebagai seorang homoseks. Liburan yang sedianya menyatukan seluruh anggota keluarga justru makin mengasingkannya dalam bayang angan, kenangan, dan kenyataan.

Cantik dan damainya keindahan lanskap Pulo Maduk membalut suramnya konflik batin dalam dada Tim. Penonton tak hanya duduk dari jauh dan jadi pengamat. Kita dan Tim berbagi momen bersama. Mata kita dan Tim jadi satu menyaksikan saat James (Jerome Kurnia) membelakanginya dan hilang bersama arus, saat rusa sang pembawa jodoh muncul di hadapannya, atau bahkan saat orangtuanya memegang erat tangannya sambil meminta ampun pada Tuhan atas perbuatannya. Narasi yang dibawakan tentang kasih sayang menjadi menarik ketika maksud sayang orang tua Tim kepada Tim, yang menyayangi kepada yang disayangi, hanya searah, tak dua arah seperti yang dirasakan Tim kepada tambatan hatinya. Lewat Dear to Me, setidaknya tercermin bagaimana sebuah intensi “baik” dapat “mematikan” para pemimpi seperti Tim.

Mimpi: Dilihat

Manusia menghimpun diri menjadi satuan sosial-budaya, menjadi masyarakat. Lewat hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat, kebudayaan lahir. Kebudayaan di Indonesia dikristalisasi dari pola-pola perilaku yang normatif yang terefleksikan dari proses kultural negara kita. Indonesia yang lekat dengan budaya timur mengartikulasikan pola perilaku masyarakatnya sebagai budaya kolektif yang menekankan pada “the fundamental connectedness of human being”. Karena budaya kolektifnya, banyak budaya Indonesia yang menanamkan pemahaman interdependen tentang diri. Nilai-nilai abstrak kehidupan yang diyakini “baik” dan dicita-citakan oleh masyarakat Indonesia diwujudkan dalam bentuk norma. Norma kemudian terakumulasi menjadi suatu konsep pandangan hidup yang diatributkan pada setiap manusia hingga mempengaruhi kesadaran individu dan sikapnya terhadap budaya, politik, dan identitas personal. Norma sosial yang hingga entah kapan akan berlaku ini menyebabkan tidak terbentuknya public sphere pada masyarakat untuk berekspresi sesuai kata hati. Akibatnya, tanpa kita sadari pola perilaku kita dibimbing oleh harapan orang lain. Kita dipaksa memperlihatkan tindakan-tindakan atau pilihan hidup yang sesuai dan diterima secara sosial, layaknya Tim yang diseret ke pilihan hidup yang “baik” versi orangtuanya.

Salah satu implikasi kompleksnya moralitas bangsa ini adalah kategorisasi peran gender di dalam lingkungan masyarakat. Gender diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang membedakan bagaimana artinya “menjadi laki-laki‟ dan “menjadi perempuan‟, membedakan karakteristik maskulin dan feminin. Dalam dunia patriarkal, menjadi maskulin atau feminin tidaklah didapat secara alamiah, melainkan melalui proses enkulturasi nilai-nilai yang ada di masyarakat selama kita tumbuh dan berkembang sebagai manusia. Umumnya masyarakat melekatkan bias gender atau persepsi yang dijadikan sebagai pembeda identitas laki-laki dan perempuan melalui informasi tentang penampilan fisik, sikap atau perilaku, minat atau orientasi, relasi sosial, dan pekerjaan. Bias gender membawa dampak terciptanya ketentuan tentang “pantas” atau “tidak pantas”-nya seseorang masuk ke dalam salah satu kategori tersebut. Hal ini memaksa kita menjadi pribadi yang sesuai harapan masyarakat agar diterima secara sosial, sehingga apabila salah satu dari karakter maskulin atau feminin melekat pada konsep yang lain dianggap memutarbalikkan fakta dan mencederai budaya.

Jika melihat keberagaman di Indonesia dari sini, sepertinya tak heran jika kawan-kawan LGBT sering tak hadir dalam bingkai keberagaman. Wayne Parson, seorang ahli kebijakan publik, pernah mengatakan bahwa ruang publik atau ruang aktivitas manusia dipandang perlu diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya aturan bersama yang dihasilkan dari konsensus bersama. Namun menjadi pertanyaan ketika konsensus yang disinggung terjadi tanpa melibatkan kelompok minoritas atau kelompok rentan dan langsung mempersekusi.

Nyatanya, suka atau tidak suka, konsepsi moralitas tak bisa selalu seragam. Pada akhirnya, moralitas hadir untuk memihak. Dear to Me dengan anggun memotret buramnya kacamata gender dalam membingkai pola perilaku masyarakat Indonesia dalam merespon perbedaan yang tak ia percayai. Begitu buram tak ada yang tahu persis kenapa kita sehari-harinya sibuk mengatributkan bingkai stereotip gender ini untuk melihat kemanusiaan. Yang nampak jelas hanyalah kepercayaan bahwa budaya ini telah mengakar kuat dan kita cuma bisa taat.

Mimpi: Dipertemukan

Kelompok keagamaan pada dasarnya tidak hanya menciptakan hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan individu-individu lain yang mengimani Tuhan di dalamnya. Hubungan horizontal yang terjadi menyebabkan nilai-nilai yang tercipta dari individu-individu dalam kelompok keagamaan dapat mempengaruhi seluruh anggota dalam lapisan masyarakat tersebut. Terlebih kelompok keagamaan merupakan satuan kelompok sosial primer, yang berlaku dan punya kuasa tersendiri dalam satuan kelompok terkecil seperti keluarga hingga yang menyeluruh. John J. Macionis dalam buku Sociology menyatakan bahwa mayoritas agama menganut sistem patriarkal, sistem yang heteronormatif. Dalam Kejadian 2:21–24, diceritakan penciptaan Adam dan Hawa serta cikal bakal institusi keluarga pertama dengan formasi suami dan istri. Dari konsep pernikahan Alkitabiah ini, seksualitas akhirnya menjadi praktik keagamaan. Hamba terbaiklah yang menaati perintahNya. Agama melihat seksualitas manusia sebagai sesuatu yang suci, bukan sarana pelampiasan nafsu tapi implementasi kasih yang murni. Walaupun tak menjadikan praktik homoseksual dosa yang “lebih besar” dibandingkan dosa-dosa lainnya, setidaknya dari Roma 1:24–27 dan Imamat 20:13, Alkitab menyebutkan hubungan seksual antar sesama jenis dengan kata kekejian, kecemaran, dan kesesatan.

Dalam suatu percakapan bersama penjaga resort tentang mitos rusa di pulau tersebut, orangtua Tim dengan yakin menepis cerita rakyat tersebut dengan kalimat “Kami hanya percaya sama Tuhan Yesus”. Di mata mereka, menjadi murid Kristus berarti membayar kehidupan pribadi kita untuk memuliakan Tuhan. Namun Tim, yang merasa tak bisa menggapai kemerdekaan di dalam anugerah Allah, mengilhami dongeng rusa tersebut lewat pengalaman batinnya, ia sadar spiritualitas berkaitan erat dengan mistisisme, kekuatan gaib di luar kekuatan manusia dan tidak bisa dipahami dengan akal pikiran manusia. Lewat Tim, kita bisa melihat bagaimana pengalaman mistik dapat dirasakan seseorang dengan hilangnya rasa kepribadian atau ego yang ada di dalam diri dengan suatu keseluruhan yang lebih besar. Bahwa kasih dan sayang Tim murni, bukan semata pemaksaan kehendak atas pemenuhan hawa nafsu dan tujuan sendiri.

‘Kamu percaya gak sama mimpi? Kalo aku sih udah seneng ketemu kamu, walaupun cuma di mimpi. Tapi aku berharap, aku tetep bisa ketemu kamu diluar mimpi.’

Narasi yang dilontarkan Tim seakan menjadi ode untuk dirinya sendiri. Hidup diantara dunia nyata dan fana, tiada hari terlewati tanpa rasa bersalah. Belum cukup dibayang siksa batin hidup di dunia, sudah dibayang-bayang siksa api neraka. Yang Tim cari hanya orang untuk menggenggam tangannya. Bukan menggenggam dalam lantunan doa yang mengerdilkannya, namun menggenggam dalam penerimaan. Tim percaya bahwa setiap mimpi punya makna-maknanya sendiri. Melalui figur rusa, James, dan perwujudan mimpi lainnya, mereka, yang bisa menerima Tim, hadir untuk menghadirkan makna dalam hidupnya, agar ia tetap kuat melewati hari demi hari hingga sampai waktunya ia dipertemukan dengan versi Tim yang diharapkannya.

Pengalaman menonton Dear to Me pasti akan berbeda-beda tergantung bagaimana kita mengantisipasinya. Satu hal tentang film ini mengingatkan penulis pada dialog Suster Monic dalam film Ave Maryam (2018). “Jika surga saja belum pasti untukku, buat apa nerakamu menjadi urusanku”. LGBT pada dirinya sendiri bukanlah sebuah persoalan. LGBT menjadi persoalan ketika kita memilih untuk mempersoalkannya.

Dear to Me (2021)

Director : Monica Vanessa Tedja

Cast : Jourdy Pranata, Jerome Kurnia, Wani Siregar, Abbe Rahman

Ditonton di Locarno Film Festival.

Penulis : Allaam Faadhilah (Kru LFM ITB)

--

--

Kineklub LFM ITB

Kanal diskusi, kritik, dan apresiasi film oleh kru Liga Film Mahasiswa ITB.