Everything Everywhere All at Once dan Kegilaannya

Kineklub LFM ITB
3 min readJul 1, 2022

Ditulis oleh Samuel (Kru ’21) dan Raymond (Kru’20)

Sesuatu yang bernama ide bisa seaneh dan segila itu muncul dari pikiran manusia. Pertanyaan ‘bagaimana jika?’ mengikuti pikiran-pikiran yang keluar dari otak kita. Ini juga tidak terlepas dari emosi dan perasaan yang kita rasakan, dan juga pengalaman hidup. Kali ini, idenya adalah bagaimana jika persoalan hidup manusia yang sederhana ‘digabungkan’ dengan ide ‘gila’, seperti ancaman konsep multijagat?

Everything Everywhere All At Once (EEAAO) menceritakan chinese immigrant di Amerika. Evelyn (Michelle Yeoh) dan suaminya Waymond (Ke Huy Quan) membuka usaha laundromat yang tengah menghadapi sebuah audit pajak. Kehidupan yang sekilas membosankan ini digoncangkan oleh sebuah ancaman multijagat yang mengharuskan Evelyn untuk menghadapi berbagai rintangan yang aneh dan tidak masuk akal.

Menyambungkan persoalan hidup manusia dengan kompleksitas multijagat adalah satu dari banyak ide-ide gila yang dituangkan oleh sang sutradara Daniel Kwan & Daniel Scheinert (The Daniels). Salah satu hal yang unik dari EEAAO adalah konsep filosofis yang dibahas, yaitu konsep nihilisme dalam hidup dimana manusia adalah hal kecil yang tidak berarti di alam semesta ini. Film ini membahas bahwa pandangan itu tidaklah salah, namun bagaimana kita sebagai manusia bisa mengartikan perspektif itu dan betapa pentingnya orang-orang yang kita cintai. Kekuatan cinta sepasang manusia dalam semesta EEAAO digambarkan lewat keharusan Evelyn untuk menyatakan cinta terlebih dahulu sebelum menyambungkan kesadaran dirinya ke dirinya di semesta yang lain. Atau yang lebih aneh, seseorang yang harus menusukkan bokongnya dengan benda tumpul untuk tujuan yang sama.

Membaca penjelasan beberapa adegan di atas pasti meninggalkan kesan yang absurd dan tidak masuk akal, namun terlepas dari keanehannya, narasi yang dibawakan EEAAO tetap terasa sangat grounded karena pada intinya, film ini adalah sebuah family drama. Daniels menyampaikan berbagai hal, pesan dan kritik, khususnya tentang keluarga, hubungan suami-istri, dan ibu dan anak. Di sepanjang petualangan multiversal yang disuguhkan, kita merasakan perasaan emosional dari para tokoh. Penggambaran keluarga Chinese yang tepat ada di awal-awal. Satu jam terakhir digunakan untuk menyampaikan konklusi dan makna yang ada. Dimulai dari universe dengan tangan hot dog, ‘Raccacoonie’ dalam sebuah restoran, Evelyn dan Waymond di dunia mirip film Wong Kar-wai, sampai batu yang berbicara, semuanya memiliki pesan inti. Beberapa ada yang tersurat, beberapa juga ada yang merupakan metafora untuk kita agar bisa menginterpretasikannya sendiri. Penonton masih bisa relate dengan emosi dan perjuangan karakter-karakternya walaupun diselingi dengan hal-hal bombastis yang membuat kita tertawa terbahak-bahak.

Performa Michelle Yeoh patut dipuji dalam film ini. Sesuatu yang tidak mudah membawakan karakter Evelyn yang bervariasi dari berbagai universe dengan keunikannya masing-masing. Ke Huy Quan juga berhasil membawakan karakter Waymond yang naif dan lugu, namun tetap dengan kompleksitas yang tidak disangka. Stephanie Hsu juga tampil fenomenal sebagai Joy. Sekuens-sekuens aksi dalam film ini juga tidak kalah baiknya, ditambah bumbu komedi yang membuat kita tertawa di sela-sela keliaran yang ada. Kita juga disuguhkan editing dan sinematografi yang sangat baik sepanjang film diputar.

Film ini unik mulai dari segi visual, plotlines, humor, dan overall tonenya. EEAAO adalah film yang gila, aneh, liar, penuh aksi, komedi, emosional, dan penuh arti. Seperti judulnya, semua itu ada di waktu yang bersamaan. ‘Everything Everywhere All at Once’ menggambarkan segala kegilaan dan keanehan yang diselimuti dengan perasaan dan emosi dalam hidup manusia.

--

--

Kineklub LFM ITB

Kanal diskusi, kritik, dan apresiasi film oleh kru Liga Film Mahasiswa ITB.