Exhuma (2024): Besar Ambisi, Minim Eksekusi

Kineklub LFM ITB
4 min readMar 28, 2024

Katel:

Bagi gua, Exhuma (2024) menjadi salah satu alasan yang membuat gua agak harus nonton trailer lagi setiap mau pergi ke bioskop, karena satu-satunya informasi yang gua ketahui adalah kehadiran dukun gantengnya.

Untuk gua yang sangat buta terhadap premis dari film ini, paruh pertama film terlihat menarik dan bisa dinikmati walaupun hanya bermodal kisah horor klise mengenai teror suatu keluarga oleh arwah kakek buyut yang pulang pergi Amerika — Korea Selatan, asli, lucu banget. Atmosfer yang diberikan juga lumayan mencekam, dengan jumpscare dan ritualnya yang indah serta memukau secara visual. Apalagi jika ditambahkan dengan rasa panik dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh banyaknya hal yang belum dijelaskan dan dimengerti dengan baik, wah, gokil banget! Namun, ketika lagi tegang-tegangnya, terornya kelar gitu aja?! Lucunya, cerita ini berakhir dan dilanjutkan dengan kemunculan jenderal Jepang yang entah bagaimana malah merupakan plot utama dari film ini.

Menarik, sih, kalau memang kemunculan jenderal Jepang ini justru mengungkapkan rahasia kelam keluarga yang terkubur dalam-dalam dan menjadi alasan kuat dari serangkaian teror yang terjadi. Namun, ternyata hubungan antara dua kisah ini hampir tidak ada–membuat separuh awal film hanya menjadi pemborosan waktu yang tidak perlu dan hanya sebagai bridging yang tidak berdampak apa pun. Sebagai gantinya, peralihan fokus menjadi jenderal Jepang ini menurut gua kacau banget, dari yang awalnya menyelamatkan suatu keluarga menjadi misi penyelamatan negara? Mungkin jika pengembangan ceritanya lebih terstruktur dan konsisten, gua akan merasa lebih terlibat dengan karakternya dan akan lebih puas dengan perubahan naratif yang tiba-tiba.

All in all, bagi gua, Exhuma memiliki konsep yang menarik dan kompleks tanpa adanya dukungan dari pengemasan dan pengeksekusian yang baik. Film ini juga terlalu terfokus pada pemanfaatan sejarah dan budaya Korea Selatan sebagai latar belakang film tanpa pembangunan cerita yang jelas, menganggap seluruh penonton sudah membaca premis dan mengetahui sejarah tersebut. Kepercayaan geomansi juga sangat ditekankan dalam penyelesaian masalah, tetapi tidak ada pengenalan dan gambaran jelas tentang fengshui yang selama ini digadang-gadangkan oleh Kim Sang-deok yang diperankan oleh Choi Min-sik. Berbagai plot hole yang ada juga lumayan mengikis pengalaman gua saat nonton dan berakibat pada gua yang kurang puas dengan film ini ^__^

Kevin:

Exhuma (2024) adalah film yang membingungkan buat gue. Kalau adegan-adegannya dibedah satu per satu, film ini sangat unik soalnya secara langsung menghubungkan premis horror dukun yang kita sering lihat dengan sejarah dan kondisi geopolitik Jepang dan Korea Selatan. Film ini juga ga penuh dengan jumpscare yang terasa murahan dan ada satu, dua adegan yang beneran bikin gue merinding dan deg-degan. Adegan ritual yang ada di film ini juga sangat seru untuk ditonton. Ada sebuah rasa takjub yang gue dapet di adegan ritual tersebut yang bikin gue gak bisa stop nonton. Tapi, saat film ini ditonton secara kontinu dan keseluruhan, banyak banget hal yang gue gak suka.

Salah satu hal yang patut disayangkan dari film ini adalah pacing-nya yang acak-acakan gak karuan untuk paruh kedua filmnya. Jadi di awal kita disajikan trope horror biasa yang berfokus di sebuah keluarga yang diganggu sama sebuah roh yang ternyata merupakan bebuyut dari keluarga tersebut. Setelah plot point ini selesai, gue mikir apa cuman segini doang filmnya? Ternyata setelah itu ada lagi cerita tentang suatu hantu jenderal Jepang yang tempatnya di keseluruhan cerita terasa sangat terpaksa dan tacked on.

Transisi dari cerita roh keluarga ke hantu jenderal Jepang dieksekusi sangat buruk. Bukannya secara alami berpindah dari satu cerita ke cerita yang lain, malah kerasa banget kalau filmnya tuh pengen cepet-cepet ke cerita jenderal Jepang ini dan meninggalkan cerita sebelumnya. Hal ini lumayan bikin pengalaman nonton gue kurang menyenangkan, soalnya paruh kedua film ini jadi terasa kurang matang dan banyak hal yang dilakukan oleh karakter di bagian kedua ini yang gak masuk akal. Seperti melakukan hal-hal yang secara langsung bertentangan dengan apa yang mereka lakukan di bagian pertama.

Berbicara soal karakter, gue sama sekali ga relate sama berbagai protagonis dari film ini. Gue merasa kalo karakter-karakter ini hanya ada untuk satu tujuan, yaitu untuk memajukan cerita film ini, bukan sebagai manusia yang memiliki kepribadian yang kompleks dan motivasi yang relatable. Kesannya, secara keseluruhan, karakter-karakter ini terasa sangat “lepas” dari cerita yang berusaha disampaikan di film ini dan malah komposisi keempat karakter utamanya jadi tidak terlalu relevan. Alhasil, sangat sulit buat gue untuk peduli sama mereka. Gue ga ngerasa kalau karakter-karakter yang kita udah temenin selama 133 menit ini melewati pertumbuhan sama sekali. Mereka melawan hantu, ritual ini itu, hampir kalah, ternyata menang, terus udah.

--

--

Kineklub LFM ITB

Kanal diskusi, kritik, dan apresiasi film oleh kru Liga Film Mahasiswa ITB.