Godzilla x Kong: The New Empire (2024) — Sebuah Hiburan Fantasi Murni

Kineklub LFM ITB
3 min readApr 11, 2024

Ditulis Oleh Bobby (Kru’21)

Setelah bertarung secara hebat dan besar-besaran untuk membuktikan siapa yang paling berkuasa di bumi manusia ini. Kali ini, Godzilla dan Kong bersatu untuk melawan musuh yang lebih mengancam dunia manusia dan dunia “monster-verse”. Setelah sukses menyatukan dua titan paling populer dalam sejarah perfilman dalam Godzilla vs Kong (2021), kini Adam Wingard kembali mengkolaborasikan mereka lagi dalam Godzilla x Kong: The New Empire (2024). Bukan sebuah cerita baru dapat menyatukan dua rival yang dahulunya saling bertengkar dan kini mendapatkan tawaran untuk bersatu. Untuk dua titan ini, sekilas terlihat mustahil, tetapi eksekusi Wingard dalam menawarkan film yang satu ini adalah hiburan yang cukup berbeda.

Sedari Godzilla vs Kong (2021), Wingard selalu mengedepankan sorotan filmnya terhadap Godzilla dan Kong sebagai tokoh utama. Di bawah arahannya, manusia hanya bisa menawarkan teknologi instan terhadap kehidupan Godzilla dan Kong seperti tangan mekanik atau penggantian gigi logam tanpa bisa memimpin perlawanan kepada musuh. Eksplorasi terhadap Hollow Earth kini diperdalam, menemukan dunia fantasi di tengah hiruk pikuk bulatan bumi. Pemandangan rongga bumi itu mengembalikan penonton pada gambarannya seperti dunia pra-sejarah ketika dinosaurus masih berkuasa. Visualisasi cantik juga berusaha ditawarkan sebagai pemantik yang ciamik di tengah momen aksi yang padat tanpa celah. Sepertinya, Wingard mendengar banyak keluhan tentang drama manusia yang begitu mendominasi pada era Godzilla versi Hollywood sehingga berusaha mendegradasi itu dengan seminim mungkin. Kali ini, justru Kong dan Hollow Earth yang bercerita tentang mereka sendiri.

Penulis begitu suka dengan Wingard memberikan sekuens tersendiri tentang cara komunikasi para simpanse besar ini layaknya monyet pada umumnya, seperti detail mimik wajah senang dan sedihnya terhadap sesuatu. Penonton memang perlu mencerna lagi apa yang mereka utarakan, tetapi ekspresi dan gerak-gerik yang khas, penonton dapat merasakan apa yang mereka rasakan. Kehadiran Mini Kong kemudian menambah intensitas drama per-monyet-an ini menjadikan lebih aktif dan hidup dalam menarik simpati penonton. Bisa jadi ia dapat diproyeksikan sebagai Kong selanjutnya — jika filmnya untung secara finansial — yang dapat dieksplor lebih lanjut kehadirannya. Dari sisi drama manusianya, Rebecca Hall dan Kaylee Hottle kembali setelah tiga tahun tak muncul dengan penampilan baru yang lebih dewasa dan saling mendukung dalam momen sebagai ibu-anak angkat. Keduanya menyokong unsur drama manusianya semakin menarik simpati, walau porsinya tak sebanyak drama Kong yang diusung menjadi plot utama.

Alih-alih menyatukan dua titan yang begitu besar, peran Godzilla masih dianggap sebagai perusak bumi ketimbang sebuah “hero” dalam filmnya sendiri. Kemunculan Godzilla biasanya dikaitkan dengan lingkungan di bumi yang sudah semakin rusak dan kemarahannya dipicu oleh hal itu. Dalam film ini, porsinya terasa mengecil ketika Kong dan Hollow Earth kedatangan antagonis baru dengan ambisi menciptakan “empire” baru yang motivasinya dirasa lemah. Apalagi ketika penulis mengetahui bahwa sang antagonis Scar King dengan titan-nya Shimo bukanlah asli dari komik dan baru diciptakan untuk film ini. Maka, urgensi Godzilla juga hanya terasa “ikut-ikutan” demi memunculkan dan menaikkan pamor “Monster-verse” yang sudah didahului oleh tren Godzilla sejak 2014 di bawah produksi Warner Bros dan Legendary. Kasihan, Zilla…

Filmnya begitu fluktuatif ketika manusia memulai cerita dalam babak pertamanya untuk berusaha memaksimalkan ceritanya kepada para manusia yang ada di situ sebelum fokusnya dialihkan kepada titan-titan kita, tetapi jarang memikat dan didukung oleh karakter-karakter klise seperti Harris, pemimpin jalan yang arogan atau Trapper yang diperankan Dan Stevens sebagai love-interest tapi mantan dari Ilene (Hall). Untung saja, eksplorasi Hollow Earth dari visualisasi dan lore yang diciptakan tentang suku Iwi dan kaitannya dengan rongga bumi ini tampil membawa perhatian penuh. Walau kembali lagi babak ketiganya melemah ketika pertarungan Godzilla dan Kong melawan Scar King dimulai, Scar tampil lebih lemah dan kecil di dunia permukaan tak seperti ambisinya di Hollow Earth.

Pada akhirnya, Wingard membulatkan Godzilla x Kong: The New Empire (2024) sebagai fantasi utuh yang melibatkan titan secara penuh dalam cerita ketimbang para manusianya. Adalah sebuah poin positif yang patut diapresiasi dan hiburan yang begitu padat akan aksi walau dramanya masih fluktuatif. Menontonnya dalam format 4DX apalagi visualisasi tiga dimensi yang utuh dari filmnya akan menawarkan pengalaman menonton paling apik untuk disaksikan. Jangan dilewatkan fantasi “Monster-verse” yang satu ini, teman-teman!

--

--

Kineklub LFM ITB

Kanal diskusi, kritik, dan apresiasi film oleh kru Liga Film Mahasiswa ITB.