Melihat dari Hati lewat “Monster”
Ditulis oleh Samuel (Kru’21)
“Monster”, sebuah kata yang jarang kita sebut dalam percakapan sehari-hari. Sebuah kata yang awamnya bermakna fiktif, menandakan hiperbola. Sekali menyebutnya, langsung tersirat makna, apakah sesuatu tersebut terlalu ini, terlalu itu, atau, terlalu “aneh”? Mungkin, makna “aneh” adalah yang mendekati kata “monster”. Namun ternyata, itu tidak benar. Monster membawa kita ke sebuah refleksi dengan memandang, melihat semuanya dari dekat, merasakan yang dirasakan manusia, untuk mengetahui, bahwa semua “keanehan” itu tidaklah nyata.
Kali ini, Kore-eda bermain dengan kata perspektif, jati diri, konsekuensi, dan tentu saja, manusia. Sebuah masyarakat yang rapuh yang hanya lewat kata ke kata, semuanya hancur. Padahal, entah apa maksud kata-kata yang diucapkan. Mereka lupa apa yang seharusnya dilakukan: memandang yang sebenarnya, mengerti yang dirasakan, dan melihat dari hati.
怪物は誰?
Dimulai dari sudut pandang pertama: sang ibu. Ia ceria. Ia sangat sayang kepada Minato. Ia ditinggal oleh suaminya yang meninggal saat pergi bersama selingkuhannya. Amarahnya memuncak saat mengetahui bahwa alasan Minato bertindak aneh di rumah adalah karena gurunya dan ia mengetahui bahwa Minato dilukai oleh gurunya. Mudah bagi kita untuk bersimpati kepadanya dan Minato, dan merasa geram dengan si guru dan kepala sekolahnya yang “menyebalkan”. Asumsi pertama kita lontarkan dalam hati, “monster” yang dimaksud adalah si guru dan si kepala sekolah. Dan dari sudut pandang sang ibu juga kita mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi sebenarnya dan ada apa dengan Minato? Namun, di sisi yang lain, sampai akhir pun, si ibu masih belum mengerti apa yang dirasakan oleh anaknya.
Berlanjut ke sudut pandang Hori, si guru. Menjadi guru adalah yang menghidupinya. Ia baik kepada murid-muridnya, sama halnya seperti kepada ikan yang dirawatnya. Satu kejadian mengubah momen hidupnya, satu siku yang tidak sengaja mengenai Minato menghasilkan konsekuensi yang buruk. Ia baik kepada semua muridnya, bahkan Minato mengatakan, “Ia baik” kepada Hoshikawa, merujuk kepada Hori. Hori yang tidak memiliki kuasa apa-apa harus tunduk kepada kemauan ibu kepala sekolah yang ingin mempertahankan nama baik sekolahnya. Jelas ia marah, depresi dalam hati. Pacarnya menjauhinya, tempat tinggalnya dilempari otak babi, dan ia kehilangan pekerjaannya. Tapi, tidak ada yang bisa ia lakukan. Di sini, kedua kalinya kita dibuat geram dengan orang yang sebelumnya kita anggap sebagai “monster”, si kepala sekolah. Pertama kalinya juga asumsi kita terhadap si guru berbelok dan mulai merasakan yang dirasakan oleh Hori. Dan dari sudut pandang Hori, kita makin mulai bertanya-tanya, ada apa dengan Minato?
Rentetan cerita selanjutnya adalah kesimpulan dari semuanya. Kore-eda membawa kita melihat yang sesungguhnya dari sudut pandang Minato dan Hoshikawa. Mereka berteman karib, sangat akrab. Sehari-hari mereka bermain sepulang sekolah. Minato tidak ingin dirinya dan Hoshikawa terlihat dekat di sekolah. Merasa tidak aman. Mereka seperti memiliki dunianya sendiri lewat satu gerbong kereta bekas di hutan yang menjadi tempat bermain. Tapi, ada satu perasaan yang mengganjal, satu perasaan yang tidak diyakini oleh Minato sendiri. Kita tahu itu apa. Tapi, siapa yang menyangka Minato mengungkapkan isi perasaannya kepada si kepala sekolah yang kita tidak sukai dari awal? Dan dari Hoshikawa, kita juga melihat. Ayah Hoshikawa menganggap anaknya adalah alien, seorang manusia yang otaknya adalah otak babi. Begitu jahatnya si ayah yang seorang pemabuk menganggap anaknya adalah “monster” yang hanya berdasar kepada keyakinan dan perasaan Hoshikawa kepada orang lain. Minato dan Hoshikawa hanya ingin hidup damai bersama, tanpa pandangan apa-apa tentang yang dirasakan mereka masing-masing. Mereka hanya ingin kebahagiaan ada dalam diri mereka. Dan lucunya, arti sesungguhnya kebahagiaan itu keluar dari mulut si kepala sekolah.
Monster adalah lembaran kertas berlapis-lapis yang memiliki banyak warna dan tulisan. Kata-kata dan tindakan yang keluar dari tiap tokohnya punya konsekuensinya masing-masing, begitu juga dari perasaan. Seperti halnya di Broker, Kore-eda bermain dengan perspektif. Ia lihai dalam itu. Sentuhan-sentuhan kecil di tiap adegan seakan ingin menjelaskan semuanya. Layer demi layer kita kuak dari adegan ke adegan (skrip yang sangat rapi dari Yuji Sakamoto), shot ke shot yang sangat indah, dan dari untaian tuts piano dan musik yang sangat halus (oleh mendiang Ryuichi Sakamoto). Monster seperti guru yang sedang mengajarkan dan mengingatkan kita. Manusia tidak boleh menghakimi semuanya secara langsung. Monster mengatakan itu adalah sebuah larangan. Melihat dan merasakan semuanya dengan berempati adalah yang diharapkan. Bertanyalah dalam hati, “apakah yang kita lihat ini benar?”, “mengapa terjadi seperti itu?”, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya, serta cari jawabannya dengan berempati.
Di tahun ini, Kore-eda masih berhasil untuk menyentuh hati kita, kali ini lewat hubungan dari sepasang anak dan jati dirinya. Semua sudut pandang ada alasannya. Semua alasan orang dalam menjalani hidup ada latar belakangnya. Pada akhirnya pun, Minato dan Hoshikawa hanya menikmati kebahagiaan mereka, dan berlari dalam dunianya sendiri. Kore-eda mengingatkan lagi, bahwa satu yang terpenting, selalu melihat dari hati.