Ngeri-Ngeri Sedap: Batak dan Budayanya

Kineklub LFM ITB
5 min readSep 15, 2022

--

Ditulis oleh Samuel

Pada awal bulan Juni 2022, komedian Bene Dionysius Rajagukguk merilis film keduanya, Ngeri-Ngeri Sedap. Berjarak tiga tahun setelah film pertama Bene, Ngeri-Ngeri Sedap mengisahkan serba-serbi sebuah keluarga asli suku Batak, yang berfokus pada orang tua yang merindukan anak-anaknya yang tidak mau pulang ke kampung halamannya setelah sekian lama. Kedua orang tua itu pun memikirkan suatu rencana agar anak-anaknya mau pulang.

Sejak pertama kali mendengar bahwa Bene ingin membuat Ngeri-Ngeri Sedap yang berfokus pada keluarga Batak, saya sudah berekspektasi baik. Saya juga tidak ragu karena latar belakang Bene sendiri yang seorang yang berasal dari suku Batak dan ini adalah film yang ‘dicita-citakan’-nya. Terbukti, Ngeri-Ngeri sedap mendapat respon dan kritik positif dari para penontonnya dan menembus angka 2,8 juta untuk jumlah penontonnya. Walaupun berfokus pada budaya dan keluarga Batak, penonton lain yang berasal dari latar belakang bukan Batak tetap merasakan kehangatan film ini.

Tentu, Ngeri-Ngeri Sedap penuh dengan budaya Batak. Dari awal hingga akhir film, mulai dari karakter, latar, bahasa, lingkungan hingga lagu-lagu yang disajikan kental dengan budaya Batak. Namun, apa saja budaya batak yang Bene tampilkan di film ini dan makna apa saja yang terkandung?

Keluarga

Ngeri-Ngeri Sedap menceritakan sebuah keluarga yang terdiri dari kedua orang tua dan keempat orang anaknya. Kedua orang tua itu terdiri dari Pak Domu dan Mak Domu. Anak-anak mereka berurut terdiri dari Domu, Sarma, Gabe, dan Sahat. Penyebutan nama ‘Domu’ pada Pak Domu dan Bu Domu merujuk pada anak pertama mereka yang bernama Domu. Hal ini sudah menjadi kebiasaan orang Batak turun-temurun, di mana biasanya kedua orang tua dipanggil dengan panggilan nama anak pertamanya untuk memudahkan dalam mengenali. Sesuai yang ada di film dan di kehidupan nyata juga, anak pertama ‘diminta’ untuk menjadi ‘si abangan’ atau pemimpin untuk adik-adiknya. Di budaya batak juga, anak perempuan disarankan untuk dekat dengan orang tua, begitu juga dengan anak terakhir atau ‘siappudan’. Zaman modern ini, budaya ini sudah mulai berkurang karena setiap anak makin menyadari posisi dan perannya masing-masing, walaupun di daerah kampung di Sumatera Utara, budaya ini masih kental.

Ayah dalam keluarga batak juga cukup jelas posisinya sebagai seorang kepala keluarga dan istri dan anak-anaknya patuh kepada si ayah. Selain itu, dalam konteks film ini juga, orang Batak kebanyakan ‘dituntut’ untuk menikah dengan sesama orang Batak agar menghasilkan keturunan dari batak juga. Namun, zaman sekarang yang sudah modern membuat kebanyakan orang batak tidak terlalu mengikuti budaya ini. Walaupun jumlahnya sedikit, ada saja orang batak yang memutuskan untuk menikah dengan orang batak juga. Masih banyak orang batak sekarang ini yang tetap mengikuti budaya menikah dengan orang batak karena orang tuanya masih berasal dari kampung atau daerah Sumatera Utara.

Kebiasaan

Bene Dion memperlihatkan banyak sekali detail tentang kebiasaan orang batak. Pertama, mulai dari rumah. Latar rumah tempat keluarga Pak Domu tinggal yang berada di pinggir Danau Toba ‘mewakilkan’ orang-orang batak yang banyak tinggal di pinggir Danau Toba. Kebiasaan untuk tinggal di pinggir danau sudah ada sejak dahulu karena mata pencaharian kebanyakan orang yang tinggal di daerah itu adalah nelayan di danau. Kemudian, hal-hal menarik yang bisa dilihat di film dan mengikuti kehidupan nyata adalah dekorasi rumah dan sekitarnya. Di dalam rumah, terlihat gelas-gelas dan perabot rumah tangga yang persis ada di rumah-rumah orang batak sesungguhnya. Tidak tahu mengapa, tetapi perabot dapur atau rumah di rumah-rumah di daerah Sumatera Utara mirip sekali dan itu seakan-akan menjadi ‘kebiasaan’ orang batak yang dianggap unik. Selain itu, di halaman rumah, keluarga Pak Domu memelihara babi. Ini juga persis seperti orang batak kebanyakan di kampung. Babi menjadi salah satu hewan khas orang batak, salah satunya karena dagingnya yang biasa dimasak menjadi sangsang, makanan khas batak. Mobil yang dipakai keluarga Pak Domu, yaitu Toyota Kijang, menjadi keunikan tersendiri karena biasanya orang batak di daerah kampung dan sekitarnya memakai mobil yang sejenis.

Salah satu adegan komedi menampilkan Sahat yang salah saat menyebutkan panggilan salah satu anggota keluarganya. Hal ini menjadi hal yang cukup penting dalam budaya batak, yaitu panggilan atau penyebutan untuk anggota keluarga lain. Penyebutan atau panggilan harus benar karena itu bermakna anggota keluarga, sehingga jika salah berarti tidak sopan. Contoh-contoh umum adalah seperti ‘namboru’ untuk saudara perempuan dari ayah, ‘nantulang’ untuk saudara perempuan dari ibu, dan lain sebagainya.

Pesta Adat

Salah satu alasan Pak Domu menginginkan anak-anaknya untuk pulang adalah agar mereka menghadiri pesta adat. Pesta adat itu bernama ‘sulang-sulang pahompu’ yang artinya menyuapi cucu. Pesta ini adalah pesta untuk mengadakan semacam adat pernikahan yang sempat tertunda karena berbagai hal, sehingga dilaksanakan saat anak-anaknya sudah dewasa. Di dalam adegan pesta adat ini, tidak tertinggal budaya-budaya Batak yang kental, seperti kain ulos, tari tor-tor, dan makanan sangsang.

Kain ulos serta tari tor-tor menjadi adat istiadat batak yang terkenal dari zaman dahulu. Kain ulos ada banyak jenisnya dan masing-masing jenis memiliki artinya. Sebagai contoh, ulos ragi hotang sebagai simbol kasih sayang, ulos mangiring sebagai simbol kesuburan, ulos ragidup sebagai simbol kehidupan, dan sebagainya. Beberapa jenis ulos juga hanya dipakai untuk acara-acara tertentu saja. Di lain sisi, tari tor-tor digunakan orang batak untuk menyambut tamu, dalam pesta perkawinan, hingga tarian kematian untuk orang yang meninggal. Tari tor-tor juga tidak hanya dilakukan di daerah kampung saja, tetapi masih dilakukan oleh orang-orang batak di perkotaan.

Dalam budaya batak, banyak hal atau momen yang menjadi pesta adat. Pesta lamaran, pernikahan, naik sidi, hingga orang meninggal menjadi pesta adat turun-menurun yang dilaksanakan sampai sekarang. Di daerah Sumatera Utara, pelaksanaan pesta adat di pinggir-pinggir jalan atau di gedung lumrah sekali terjadi dan bisa ada saja setiap hari. Orang batak terus melanjutkan budaya ini karena masih dianggap penting untuk diturunkan.

Budaya batak dibawakan dengan mulus dan sederhana oleh Bene di Ngeri-Ngeri Sedap. Mau tidak mau, audiens yang berasal dari keluarga batak akan merasa relate dengan apa yang ditampilkan Bene. Ini juga tidak terlepas dari latar belakang Bene yang berasal dari kampung di Sumatera Utara. Membawakan hal ini menjadi mudah bagi Bene dan juga menjadi kelebihan tersendiri untuk film ini.

--

--

Kineklub LFM ITB
Kineklub LFM ITB

Written by Kineklub LFM ITB

Kanal diskusi, kritik, dan apresiasi film oleh kru Liga Film Mahasiswa ITB. https://linktr.ee/kineklub

No responses yet