Notulensi BK x CT Cinegala

Kineklub LFM ITB
5 min readMar 19, 2022

--

Creative Talks kedua berkolaborasi dengan Bioskop Kampus yang bernama Bioskop Kampus x Creative Talks: Cinegala dan dilaksanakan pada tanggal 6 Februari 2022. Pada diskusi kali ini, BK x CT mengundang tiga narasumber, yaitu Monica Vanesa Tedja, Rendro Aryo, Harish Yulianto, dan Petrus Kristianto yang merupakan tiga orang sineas yang membanggakan industri perfilman Indonesia karena film-filmnya yang masuk official selection festival-festival bergengsi seperti TIFF, Locarno Film Festival, dan JAFF. Pada diskusi kali ini mereka akan bercerita tentang pengalaman tersebut.

Gimana proses kreatif sebagai sineas dalam membuat film hingga akhirnya dapet konsep final dan film yang udah dibuat

Petrus: -

Harish: Untuk film the secret club of sinners sendiri dapat dana dari kpk jadi pertama riset tentang tema trus dicoba sesuaikan dengan kondisi sekitar lalu kebetulan saya aktif di grup supir truk mereka komplain tentang penumpang dan muatan yang sudah jarang karena berbagai kebutuhan mendesak sehingga itu menjadi awal mula film ini. Terdapat juga masalah keluarga pribadi yang cukup relate dengan tema yang diberikan sehingga juga menjadi salah satu ide dari proses kreatif tersebut.

Monica: Biasanya berawal dari keresahan dan dari sana biasanya dimulai dengan satu kata misal untuk film dear to me itu adalah ‘longing’ dan pengen maknain kata ini di setiap scene dan akhirnya kata ini bisa jadi untuk komunikasi dan juga pihak-pihak terlibat seperti kru dan pemerannya, selain itu juga ngobrol jadi salah satu awalan dari sebuah film khususnya ke salah satu orang terdekat yaitu produser, jadi dari ngobrol itu bisa muncul revolution baru.

Rendro Aryo

Apakah ada adegan yang paling berkesan pas syuting?

Monica: Adegan terakhir bagian di dalem mobil yang harusnya ga hujan dan dari produser udah diingetin jangan pake warna ijo karena katanya memanggil uhjan dan di adegan tersebut tiba-tiba ujan gede dan ternyata asisten kamera ga ikut briefing dan beliau ngeluarin cover kamera yang warnanya ijo neon dan pas dihilangin ternyata ujannya berenti dan sebenarnya agak aneh tapi itu salah satu yang paling berkesan.

Petrus: Ide awalnya gaada adegan hujan sama sekali tapi pas proses syuting itu selalu hujan tapi yang paling berkesan itu adegan pantai (Pak Ucup) karena ekspektasinya ga tinggi karena situasi tetapi hasilnya sangat di luar dugaan.

Harish: Pas adegan kapal di mana adegannya 3 hari di kapal dan saya bersama dua teman saya yang ternyata mabuk laut jadinya mereka tidur dan saat beliau mengambil gambar sendiri beliau merasa bahwa ada memori yang teringat bersama sang ayah saat beliau masih kecil dan momen tersebut dijadikan scene dan menjadi emosional

Bagaimana proses syuting saat pandemi dan apakah perbedaannya dengan saat normal?

Harish: Pandemi memberikan saya banyak waktu luang sehingga saya bisa nonton dan baca dan mengurangi banyak kegiatan sehingga beliau merasa lebih tenang

Petrus: awal-awal pandemi kita semua di rumah terus jadi banyak waktu meriset dan ada berlabuh sehingga udah mulai distribusi dan itu waktu-waktu yang tepat untuk riset, bahkan saat pembuatan naskah sudah riset potensi-potensi festival film seperti pemutarannya, siapa yang mengadakan, dll. Jadi sudah disiapkan pemutaran-pemutaran dan mereview bahkan mengkritisi.

Monica: Syuting awal 2020 dan udah denger tentang virus COVID-19 yang udah mulai nyebar dan banyak orang ribut tentang masker di berlin cuma di indo belom aware dan pas pulang ke berlin seminggu sesudahnya lockdown dan untungnya sisa editing jadi masih feasible untuk dilakukan dalam pandemi.

Referensi film apa saja yang dipakai untuk pembuatan film tersebut

Harish: Liverpool (Lisandro Alonso) karena narasinya dan visualnya

Monica: Tropical Malady (Apichatpong) ganyambung sama dear to me tapi diskusi sama DOP jadi pendekatan visual dapet dari sana dan waktu itu riset bareng DOP sendiri dan yang jadi fokusnya adalah lokasinya dan dari sana dibuat teaser yang cukup spontan.

Rendro: gaada referensi cuma kalo ada film yang berbekas itu American honey (Andrea Arnold) karena saat membuat film tidak banyak perlengkapan yang digunakan seperti tidak menggunakan lighting, kru sedikit, kamera seperti dokumenter.

Untuk kak Monica: Proses riset karakter queer yang merepresentasikan LGBT yang di mana masih jarang film Indonesia yang jarang dengan konsep tersebut

Sebenernya ga ada intensi cuma pengen cerita aja jadi dari situ aja karena agak susah untuk jawabnya karena sebenernya ga ada formulanya bikin film seperti ini yang politically correct jadi cuma berusaha jujur dan be open jadi yang tadi udah dibilang juga diskusi itu sangat membantu.

Apakah menargetkan untuk masuk festival tertentu dari sebelum produksi atau apakah ada film yang memang untuk festival?

Rendro: Bikin film bukan untuk festival melainkan ada kegelisahan tertentu baru saat film selesai baru kirim ke festival. Festival itu punya politiknya masing-masing dan film bagus itu bukan cuma yang masuk festival, melainkan film yang bertemu penontonnya. Jadi kalau bikin film itu gaperlu ditargetin ke festival tertentu karena nantinya niatan untuk membuat film itu ga tulus, tapi kalau buat film dan masuk ke festival sangat penting sebagai motivasi dan semangat. Festival juga tempat pembuat film bertemu penonton, pembuat film bertemu dengan pembuat film lainnya, jadi banyak makna yang bisa didapat dari festival itu sendiri.

Harish dan Petrus: Tidak pernah menargetkan festival karena film ini dibuat untuk tribut ke ayah dan pengen memutarkan film ke daerah yang diambil menjadi spot syuting jadi awalnya hanya ingin ditonton sendiri dan kru kapal.

Monica: Festival itu penting cuma jangan dijadiin motivasi satu-satunya walaupun sah-sah aja cuma akan lebih berdampak efek dari film karena berdasarkan ingin bercerita dan festival ini ruang kita (sineas) bertemu penonton

Bagaimana proses submisi film ke festival lokal maupun internasional? Apakah ada kriteria atau kesulitan khusus yang perlu dipenuhi?

Petrus dan Harish: Menggunakan metode marketing kaya STP dan SWOT jadi harus tau kelebihan dan kekurangan film, selanjutnya saat submisi ada fim free way, short film, dll. Biasanya ada website sendiri untuk submit tetapi ada beberapa kanal khusus yang kalau mau submit banyak pilihannya tapi ada beberapa festival palsu dan kejadian sendiri dan biasanya festival palsu alamatnya gak lengkap dan sosial media gadiminta dan cenderung banyak nominasinya.

Monica: Kalau buat submit biar hemat waktu harus siapin tetek bengek sinopsis karena itu pertanyaan template bisa juga director statement, biography, filmography, dll jadi akan lebih baik jika disiapkan terlebih dahulu jadi nanti tinggal apply dan biasanya kalau mau apply ada biayanya dan cukup besar jadi perlu diperhatiin juga trus juga pinter-pinter berjejaring mungkin sama programmer JAFF jadi aksesnya lebih mudah dan gak perlu apply.

Rendro: Kemaren submit ke JAFF dan submitnya gratis jadi misalkan punya film dan mau gratis bisa dikategoriin dulu misal kategori umum atau kalau masih mahasiswa ada UI dan malang film festival jadi bisa mulai dari festival yang daftarnya gratis dan lokal di indonesia tapi jika ada budget bisa daftar ke festival luar seperti sundance,khan,venice,toronto,dll.

tapi kemungkinan lolos agak kecil karena proses kurasinya lebih kompleks dari festival di Indonesia

--

--

Kineklub LFM ITB
Kineklub LFM ITB

Written by Kineklub LFM ITB

Kanal diskusi, kritik, dan apresiasi film oleh kru Liga Film Mahasiswa ITB. https://linktr.ee/kineklub

No responses yet