Notulensi K-Class 2022
K-Class merupakan kelas internal bagi kru LFM ITB sebagai wadah pendalaman materi kritik dan apresiasi film. K-Class diadakan untuk memperluas pengetahuan kru LFM ITB dalam dunia kritik dan apresiasi film, meningkatkan sensitivitasnya dalam menganalisis film, serta memudahkan kru LFM ITB untuk menuangkan argumentasinya dalam bentuk tulisan.
K-Class kali ini bertajuk “Dasar Pengujian Film dalam Pembuatan Karya Kritik dan Apresiasi Film” dan diadakan pada 5 Agustus 2022 melalui Zoom. Kineklub mengundang Julita Pratiwi, seorang dosen dan periset sejarah dan sosiologi film di IKJ. Julita Pratiwi atau biasa disapa Juju merupakan penerima nominasi dalam kategori Kritik Film di Festival Film Indonesia 2021 untuk tulisannya X&Y: Hiruk Pikuk Film Vertikal. Berikut adalah catatan dari kelas kami bersama Kak Juju.
Q : Nonton film dulu baru nulis filmnya atau ide nulis dulu baru nonton filmnya?
A : Sebenarnya bisa beragam, tergantung situasi. Seringnya, berangkat dari ngobrol dengan orang lain, mungkin. Contohnya tulisan X&Y, ngobrol dengan orang lain dulu baru nonton. Kadang juga ide nulis itu jadi wacana aja, ngga sampe ditulis. Tapi ini bisa beragam, tergantung situasi dan konteksnya pada saat itu.
Q : Apa yang harus dipersiapkan saat membaca film?
Di Cinemapoetica, ada yang namanya 3K: Konten, Konsep, Konteks. Konten, apa sebenarnya kontennya, hampir serupa seperti ‘bentuk’. Selain ‘apa’, ada juga ‘how’, bagaimana teknis. Konsep, ‘why’, lebih bicara tentang apa yang mendasari, dasar-dasar keputusan, mengapa si filmmaker memutuskan kontennya menjadi seperti itu. Konteks, menarik ke hal-hal yang lebih ‘besar’, seperti ditarik seperti ke sejarah film, ranah politik, atau sosiokultural, dan ranah-ranah lain, tergantung ‘senjata’ yang kita punya, konteks sangat ditentukan oleh hal-hal itu. Biasanya juga, ada orang yang punya kepekaan yang sangat terhadap film, sangat detail dan jeli dalam membaca film. Dalam sekali nonton bisa langsung memetakan 3K. Tapi ada juga yang perlu menonton lebih dari satu kali untuk membaca semuanya. Itu juga berpengaruh, seperti kebiasaan atau proses menonton dan penerimaan filmnya. Kritikus-kritikus era dahulu mungkin hanya menonton sekali, dan bisa saja membawa catatan kecil dan senter, sambil mencatat sambil menonton. Karena bisa terlewat framenya saat menulis. Tapi, kita sekarang dimudahkan dengan menonton di OTT, dll. Upaya kita untuk meningkatkan kepekaan berbeda.
Q: Apa saja ‘senjata bedah’ yang dimiliki?
Bisa saja pengalaman, bacaan, perkumpulan ‘circle’ teman/senior/dosen, dan lain-lain, bisa jadi ‘bagasi’ pengetahuan bagi kita.
- Formalis: lebih ke sisi bentuk, kontennya. Bagi orang yang mengambil filmmaking, di semester-semester awal. Mulai dari naratif, plot, aksi. Ada juga style, seperti mise en scene-nya, sinematografi (how to frame, type of shot, pergerakan kamera, pencahayaan), editing, suara.
- Humaniora: sosiologi, kajian budaya, psikologi, dll.
- Yang menjadi tantangan adalah bagaimana menyimbangi semua ini. Tapi formalis itu yang penting. Ada suatu masa saat pengetahuan tentang formalis ini terkunci. Layer-layer/aspek lain masih tertutup, masih kurang komplit membahas filmnya. Meskipun begitu, form alangkah baiknya kalau dibahas keseluruhan. Tapi tidak ada salahnya juga untuk memilih apa yang mau kita bahas, apa yang mau kita ‘highlight’. Contohnya seperti di X&Y, lebih ke sinematografi dan mise en scene-nya, tidak detail ke yang lain. Form mutlak harus jadi pengetahuan yang dimiliki.
- Kajian film: sejarah sinema dan semiologi film. Selama proses studi di kajian film, terbentuk pesat dalam diri.
Q : Sebelum menulis X&Y: Hiruk Pikuk Film Vertikal proses persiapannya gimana sih kak?
A: Kalo di film X&Y ini itu lebih fokus ke hubungan karakter si cewe dan cowonya, alangkah baiknya dibahas semua aspek pada form ini, tetapi tidak ada salahnya untuk memilih dimana film ini akan menghighlight beberapa aspeknya disini. Di film X&Y bisa dibilang lebih fokus ke mise en scene dan sinematografinya, balik lagi strategi si sineasnya. Tapi disini bukannya melupakan aspek yang lain, aspek lain juga harus dimiliki. Aku merasa pemahaman kajian film disini jadi proses aku untuk menulis tulisan X&Y.
Soal tahapan baca film, sebenernya kan cara baca film disini beragam banget, bisa aja nonton dulu baru nulis, atau nulis dulu baru nonton. Ketika nonton dulu baru nulis, atensi untuk menulisnya itu berada saat sedang atau setelah kita nonton film itu, berbeda dengan nulis baru nonton, kita nonton itu ada atensinya untuk kita menulis, jadi ga kosong, kayak “kita bakal bikin tulisan buat film ini nih”, jadi perhatiannya lebih ke filmnya. Penting banget temen-temen buat hipotesa sebelum baca film, contoh Pengabdi Setan 2, disitu temen temen bisa bikin pernyataan “camera movement di film ini cukup bikin kontribusi terhadap rasa takut” misalnya, nah proses pembuktian dari pernyataan ini dari tiga tahapan ini, yaitu, deskripsi, analisis, dan interpretasi. Kalo di X&Y, “gimana sih cara film ini memanfaatkan rasio vertikal ini, apa tawaran lebih yang dikasih?”. Kalo deskripsi itu, kita harus bisa menjelaskan informasi dasar akan filmnya, kita juga harus tau dan bisa memaparkan bentuk atau kontennya itu gimana sih. Kalo di analisis, kita udah mulai bisa membaca dan menganalisis makna dibalik bentuk konten dengan senjata bedah yang dimiliki. Kalo di interpretasi itu kita menganalisis hal-hal tadi dengan konteks yang lebih luas, sosiokultural, historis dan lain lain.
Hal yang juga penting saat membaca film adalah kesadaran 5 prinsip dasar bentuk, ada fungsi/motif atau bisa disederhanakan sebagai konsep, kita sadar kalo yang ada di film itu bukan semena-mena ada, tapi ada alasan yang filmmaker buat disini, seperti shot diagonal, lighting yang lowkey. Aspek kedua adalah development, film itu alurnya selalu bergerak, contoh karakter di pertengahan film menghadapi sebuah konflik. Aspek yang ketiga, pola/kesamaan, mencari pola/kesamaan yang dibuat dari bentuknya. Aspek yang keempat adalah variasi/perbedaan, yang membuat film menarik itu kan antara pola dan variasi ini berkelindan, jadi dibalik suatu yang sama ada juga hal yang membuat bentuk itu berbeda. Yang terakhir adalah unity/disunity, apakah film itu utuh atau ada ketidakutuhan pada bentuknya.
Q : Kalo tadi proses sebelum penulisan, nah kalo proses selama masa penulisan X&Y: Hiruk Pikuk Film Vertikal gimana kak?
Kita lanjut proses menulis. Kalo aku nulis itu dimulai dari kerangka, biar menjadi guideline buat nulis isinya. Lanjut luangkan waktu nonton beberapa kali dan riset bahan, mungkin riset bahan terdengar akademis banget, tetapi dari studi yang aku tekuni ini jadi kebiasaan aja gitu. Yang ketiga, ketika menulis, kan ga langsung lancar gitu kan ya, once kalo kayak gitu saran dari aku matiin dulu aja laptopnya, terus nikmati proses inkubasinya, ngerenung coret-coret gitu lah prosesnya. Lanjut buka dialog pasca menonton dengan siapapun, bukan hanya ke kritikus
Know your standpoint, bukan hanya ide nulis aja tapi beneran harus banyak hal yang di-dialogin. Waktu nulis X&Y, standpoint gue lebih ke, “oke gue mau ngomongin film vertikal, apa ya yang mau gue bahas? kayaknya gue mau standpoint gue sebagai orang yang mendistribusikan knowledge tentang film”. Ditambah karena berangkat seneng sama sejarah dan kajian film, akhirnya ngerasa punya urgensi untuk memperkenalkan sejarah perkembangan vertikal film, jadi untuk menghighlight vertikal film ini bukan hal yang baru, bukan hal yang ada karena fenomena tiktok atau IG story, tapi lebih ke karena dulu udah ada jauh sebelum itu, gagasan dan prakteknya pernah dilakukan. Jadi standpointnya diambil dari situ. Dan karena juga sadar kalo film vertikal termasuk golongan yang terpinggirkan, masih kalah sama film landscape yang lebar yang mendominasi di youtube.
Satu hal lagi yaitu menarasikan argumentasi. Gue termasuk orang yang lama banget untuk bisa belajar hal ini. Adrian yang tau banget proses gue karena dia udah biasa jadi editor gue. Jadi kenapa akhirnya latih menarasikan argumentasi itu menjadi hal yang gue tulisin disini. Dan yang terakhir adalah manajemen waktu. Karena kita akan berhadapan sama orang. Dan sebenernya manajemen waktu itu juga jadi cara disiplin. Dari sini bisa tau berapa kali butuh nonton dan riset bahan berapa lama. Sementara yang gaada manajemen waktu adalah kalau gajadi jadi tulisan, wacana aja, karena ga dimanajemenkan. Jadi manajemen waktu itu hal yang penting juga untuk proses nulis.