Piknik Pesona: 10 Kota, 10 Cerita
Piknik Pesona merupakan sebuah antologi 10 film pendek karya 10 sutradara Indonesia. Pada pelaksanaan JAFF tahun ini, kru LFM ITB berkesempatan menyaksikan Piknik Pesona sebagai film opening JAFF. Berikut ulasan dari kru Pram, Ojan, Bobby, dan Samuel.
Marsiti dan Sapi-Sapi
Sutradara: Wisnu Surya Pratama
Marsiti dan Sapi-Sapi merupakan film yang mengangkat kultur karapan sapi yang merupakan tradisi khas masyarakat Madura. Film dibuka dengan Siti yang sedang me-mimik komentator pertandingan karapan sapi dengan menggunakan bahasa Madura.
Bercerita tentang Marsiti, anak perempuan yang mempunyai mimpi untuk menjadi pembalap sapi yang hebat seperti ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, ibu Marsiti berencana untuk menjual sapi milik ayah Marsiti karena alasan finansial, namun Marsiti menolak keras ide tersebut. Selain alasan finansial, Ibu Marsiti pun pesimis Marsiti dapat menjadi pembalap sapi yang hebat seperti ayahnya, apalagi Marsiti adalah seorang perempuan. Marsiti diam-diam membawa sapi yang hendak dijual Ibunya tersebut ke pertandingan karapan sapi yang akan memberikan hadiah yang cukup besar. Marsiti dibantu oleh kedua temannya yang juga mengingatkan bahwa ada satu sapi hebat tak terkalahkan yang bernama “Jet Matic”, namun itu tidak membuat Siti gentar, ia percaya bahwa hubungan dekat antara sapi dan dirinya akan mengantarkan mereka ke kemenangan.
Sebagai orang yang berdarah madura, pertama kalinya melihat representasi kultur dan kehidupan orang Madura merupakan pengalaman yang menyenangkan. Apalagi kultur tersebut dipresentasikan dengan ekspresif dan humoris pada film ini. Dari awal sampai akhir durasi film, saya merasakan excitement yang menggebu-gebu. Mulai dari masyarakat dan kultur Madura yg direpresentasikan dengan sangat apik, karakter Marsiti yang digambarkan seperti underdog dengan tekad kuat yang siap melawan melawan dunia, dan premis yang menarik dan exciting layaknya anime shounen.
Dari premis tersebut, muncul pertanyaan besar, apakah Marsiti dapat memenangkan pertandingan tersebut, membawa pulang hadiahnya, dan membuktikan pada semua orang kalau perempuan sepertinya layak menjadi pembalap karapan sapi?
Namun, sayang sekali film ini tidak memberikan jawaban pada pertanyaan tersebut. Permasalahan terbesar dalam film ini menurut saya adalah ceritanya yang terasa tidak selesai. Film berakhir pada adegan Marsiti yang baru akan mulai bertanding. Excitement menggebu-gebu dari dalam diri saya yang menantikan outcome dari pertandingan ini seakan dikhianati oleh bagaimana film ini berakhir. Banyak set-up yang sudah film ini siapkan tidak mendapatkan payoff yang seharusnya.
Pada akhirnya film ini terasa seperti episode pilot suatu serial. Ketika melihatnya seperti itu, maka film ini jadi 10/10 karena film ini mengeksekusi fondasi ceritanya dengan sangat baik. Premis yang menjual, karakter yang menarik, setting yang unik, humor yang on-point, dan ending yang menggantung sehingga membuat penonton tidak sabar untuk menonton episode selanjutnya. Namun, untuk menilainya sebagai short film yang berdiri sendiri, Marsiti dan sapi-sapi terasa seperti premis cerita yang tidak selesai.
Ditulis oleh Pram (Kru ‘19)
Evakuasi Mama Emola
Sutradara: Anggun Priambodo
Dibuka dalam pernyataan bahwa ceritanya sebagian adalah kisah nyata dan sebagian lagi tidak, Anggun Priambodo ingin mempercantik dan memperdetail kisah bencana dan satir di baliknya dengan rasio 4:3 dalam balutan hitam-putih. Maka kita akan mengikuti perjalanan Siti Fauziah dan Ricky Malau dalam menyelamatkan Mama Emola yang sudah ringkih dari gempa yang mulai membuat banyak kerusakan di beberapa kampung. Hubungan antara sipir dan tahanan ini memang canggung, tetapi lama-kelamaan mereka bisa menyatu dengan jenaka yang diciptakan dari kesalahan atau bersatu karena suatu masalah yang merujuk pada kebiasaan maksiat manusia yang tak elok saat bencana terjadi. Mbak Ozie dan Malau sendiri punya performa yang menawan, menampilkan kemistri apik lewat obrolan mereka mengenai jati diri asli sebagai perempuan, cap tahanan karena kejahatan yang tidak bisa ditolerir dan salah sasaran, dan kekuatan mereka masing-masing di kala bencana seperti ini. Kritik sosial antara petinggi keamanan dan seonggok manusia tak bersalah ini betul-betul meresap dalam simbolik milik Priambodo.
Ditulis oleh Bobby (Kru ‘21)
Percakapan Kecil
Sutradara: Tumpal Tampubolon
Sepasang kekasih dengan latar belakang yang berbeda melaksanakan foto pre-wedding bertemakan cerita Snow White and the Seven Dwarfs. Karakter putri berinteraksi dengan kurcaci di sela-sela pemotretan dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan kecil.
Dengan latarnya yang cukup meta, Percakapan Kecil menceritakan tentang suatu set produksi foto pre-wedding bertemakan Snow White. Dinamika antara dua karakter utama, yang berperan sebagai putri salju dan salah satu dari ketujuh kurcacinya, disajikan dalam bentuk percakapan kecil yang terjadi ketika rehat. Pembawaan kedua aktor yang sangat santai dan kasual membuat semua konversasi biasa menjadi lelucon yang menggelakkan. Dengan suntingan cepat dan memikat, penonton selalu berada diujung kursinya, menanti dan menunggu lelucon berikutnya. Keindahan visual dan produksi memang bukanlah fokus utama, meskipun gambar diambil dengan kesan tanpa kecakapan teknis, art direction terhadap set yang menghasilkan kontras antara latar hutan hijau dan kurcaci yang berwarna-warni memberikan kesan rustic dan grassroot yang sangat berkarakter. Percakapan Kecil datang dan menceritakan sebuah kisah sederhana yang hangat dengan baluran humor unik yang menggelitik, seperti menikmati teh lemon hangat di kala hujan sambil bercanda bersama beberapa teman lama.
Ditulis oleh Ojan (Kru ‘19)
Jus Nanas Kue Lapis
Sutradara: Ariani Darmawan
Sisi hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai dan tidak melakukan apapun. Jus nanas dan kue lapis menemaninya. Namun, yang ternyata terjadi tidak sesuai dengan yang ia inginkan.
Sekali lagi, kesederhanaan cerita dan tampilan realita. Filmnya sederhana. Dari awal hingga akhir hanya ada seorang ibu yang menelpon sana-sini, mengurus berbagai hal, pekerjaan, bahkan keluarga, saat ia ingin mencari ‘kedamaian’ dengan bersantai sendiri. Itulah realita yang ada saat ini. Pekerjaan menuntut kita tidak kenal waktu, sulit untuk mencari waktu senggang untuk diri sendiri. Mungkin saja itu terjadi di kita, bisa juga pada orang tua kita, maupun teman kita. Jus Nanas Kue Lapis tidak terlewat untuk mengundang tawa penonton, seperti menertawakan ‘penderitaan kecil’ Susi saat ia ingin ‘healing’. Susi hanya ingin meminum jus nanas dan memakan kue lapis yang disiapkannya. Itu pun susah.
Ditulis oleh Samuel (Kru ‘21)
Pecel Kronikel
Sutradara: Gugun Arief
Sebuah aksi pesisir dari Gugun Arief dengan segala imajinasinya mendorong dirinya untuk menyajikan sebuah perkelahian yang berdasar kepada tanah pelaku bisnis pecel dengan debt collector-nya. Walau pecelnya tak banyak berkorelasi, apalagi suasananya sempat melempem, Gugun punya intrik yang menggelitik untuk menyajikan ‘Pecel Kronikel’ sebagai film pendek yang tidak biasa. Mempertanyakan nasib kedua sisi setelah perkelahian, seperti ala film koboi barat hanya saja berlatar pesisir. Vonny Anggraini dan Aditya Lakon pantas jadi sorotan yang mencuri perhatian disini.
Ditulis oleh Bobby (Kru ‘21)
Bakmie Bangka Feri
Sutradara: Winnie Benjamin
Heri mengajak anaknya, Femi, untuk berlibur ke kampung halamannya di Bangka dan makan bersama di toko bakmi. Heri dan Femi berlibur sembari Heri menceritakan tentang masa lalunya dan Femi yang ternyata tidak ingin melanjutkan toko bakmi ayahnya.
Bakmi Bangka Feri sederhana. Ia hanya menceritakan tentang seorang anak yang memiliki keputusan yang bertolak belakang dengan ayahnya. Namun, kesederhanaan itu yang membuat penonton tidak perlu berpikir terlalu luas dan mudah untuk menerima pesannya. Kedekatan cerita dengan penonton yang perlu dirasakan. Pesannya mungkin terdengar klise, tapi mungkin itu bisa diartikan sebagai pengingat. Adegan sesederhana Feri yang tidak ingin Femi menuang kuah pada bakminya juga memiliki makna tersendiri. Aspek menonjol dari film ini juga dirasakan dari scoringnya yang mengalun mensuasanakan perasaan. Sinematografi dan cara sutradara untuk melihat Bangka lewat kaca mobil yang sedang berjalan cepat juga salah satu pemilihan cara yang menarik. Namun, terasa ada yang kurang pada endingnya.
Ditulis oleh Samuel (Kru ‘21)
(s)Aya
Sutradara: Aditya Ahmad
The next level of “tidak mengenali diri sendiri”! Aditya Ahmad menyajikan sebuah thriller yang mengancam seorang Lutesha dalam karirnya sebagai selebgram. Diteror terus oleh managernya yang disuarakan Nicholas Saputra dengan manipulasi yang mencecar tanpa henti, penonton akan terus terpacu dalam momen halusinasi yang dialami Aya dimana terpaksa menjadi selebgram menghilangkan jati diri aslinya. Teror wajah tanpa mata, hidung, dan mulut membuat bulu kuduk merinding yang ternyata mampu ditutup dengan pesan subtil dan menyentuh perasaan penonton. Kapan lagi sutradara yang satu ini beserta aktrisnya Lutesha pula, sebuah perpaduan yang indah untuk diikuti!
Ditulis oleh Bobby (Kru ‘21)
Gedang Renteng
Sutradara: Gianni Fajri
Dengan budaya mistik gedang renteng yang membumi, secara jenius satu studio menertawakan Fathia Izzati dengan dialog Jaksel (billingual) yang menjadi komedi tersendiri di tengah pencariannya bersama Shenina Cinnamon untuk sebuah “mitos” yang mereka anggap remeh. Petualangan mencari celuluk, leak gundul asal Bali yang disajikan dalam atmosfer yang pas dalam momentumnya berhasil membuat jantung penonton berdegup kencang. Penyutradaraan Gianni Fajri sendiri mampu memadukan ngeri dan tawa dalam porsi yang pas. Sebuah pengalaman menonton yang campur-aduk, tetapi membekas dan paling baik di antara lainnya. Sampai ending-nya, penonton akan merasa tercekam dengan sudutan filmnya yang semakin meledak karena horornya. Kyyaaaaaa, serem ah!
Ditulis oleh Bobby (Kru ‘21)
Golden Age
Sutradara: M. Reza Fahriyansyah
Sepasang suami istri ingin merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ke-50 di Borobudur, tempat pertama kali mereka melakukan lamaran. Namun, ingatan mereka berdua tentang Borobudur ternyata berbeda.
Penuh kesederhanaan. Reza Fahriyansyah seakan-akan berkata, bahwa cerita romantis tidak hanya bisa dibawakan oleh sepasang muda-mudi, tapi juga orang tua, bahkan lansia. Itu yang menarik di film ini. Cinta itu tak kenal usia. Memori akan cinta dan kekasih kita akan terus kita kenang hingga kapan pun itu. Penampilan yang menyentuh hati dari Landung Simatupang dan senyum Engelina Prihaksiwi, dan peran pendukung yang baik oleh Adi Marsono. Tidak lupa twist di akhir cerita yang menjadi klimaks dalam meneteskan air mata penonton.
Ditulis oleh Samuel (Kru ‘21)
Uma de Raffa
Sutradara: Abe
Ide Abe ini sebenarnya menarik, bagaimana dirinya menjalin kriminalitas pembunuhan dalam sebuah villa yang sedang terpuruk bisnisnya. Menutupi dengan segala gagasan yang ada di sekitar vila itu tanpa harus dilebih-lebihkan. Hanya saja, memang isu yang diangkat mengenai hal yang tak bersalah malah dibelokkan menjadi ketidakbenaran atau pelarian sebuah fakta. Isu itu sudah kuat dan punya pesan tersendiri, hanya saja dengan bahasa yang digunakan atau mungkin ketidakstabilan suasana yang ditawarkan sempat membuat penonton hilang arah seperti ceritanya yang kehilangan atensi dalam beberapa waktu. Van Jhoov dan teman-temannya sudah meyakinkan dalam pembawaan ceritanya yang juga bercampur dalam drama tentang keyakinan cinta pada seseorang dan pembuktiannya. ‘Uma de Raffa’ apabila dipoles dengan suasana yang menegangkan atau setidaknya konsisten dalam satu jalan teknis, bisa menjadi sebuah sajian kriminal yang menarik perhatian. Apa daya, tapi Abe tetap punya banyak tempat di hati pemirsa!
Ditulis oleh Bobby (Kru ‘21)
Piknik Pesona dapat disaksikan di Vision+