RESENSI FILM : JOMBLO (2006)

Kineklub LFM ITB
3 min readMay 14, 2018

--

Satu hal yang membuat film Jomblo begitu memorable bagi penontonnya, relatable. Jomblo adalah sebuah film yang diangkat dari sebuah novel karya Adhitya Mulya dengan judul yang sama. Pada masanya, novel tersebut memang laris di pasaran, yang berefek pada kesuksesan dari film Jomblo itu sendiri.

Bercerita tentang persahabatan 4 lelaki fakir asmara yang bernama Agus, Doni, Bimo, dan Olip yang sedang menimba ilmu di Jurusan Sipil Universitas Negeri Bandung (plesetan dari ITB). Mereka ber-4 datang dengan latar belakang ke-jomblo-an yang berbeda. Yang pertama ada Agus (Ringgo Agus Rahman), laki-laki yang tidak punya pacar karena menurutnya proporsi laki-laki dan perempuan di kampusnya tidak berimbang. Kekonyolan-kekonyolan yang kerap ditumbulkan Agus dalam usahanya mencari pacar didukung oleh muka Ringgo Agus Rahman yang (sepertinya) ditakdirkan untuk memerankan perannya ini. Sedangkan, Doni (Christian Sugiono) menjomblo karena tak pernah memiliki komitmen ketika berhubungan perempuan, bisa dibilang tipikal laki-laki yang lebih mending hubungan fisik daripada hubungan hati. Yang ketiga ada Olip (Rizky Hanggono), laki-laki kaku maniak perang-perangan yang 3 tahun lebih mendambakan satu orang perempuan yang bernama Asri. Dan yang terakhir ada Bimo, mahasiswa perantauan asal Jogja yang hobi ngisep ganja, yang nasibnya tidak pernah beruntung sama perempuan karena penampilan dia yang acak-acakan. Sifat-sifat dari empat karakter ini adalah salah satu alasan film Jomblo masih relatable hingga sekarang (2017), sebelas tahun sejak film ini keluar. Sifat- sifat yang diciptakan dari sifat seorang cowo ABG, terkadang butuh cinta terkadang butuh pelampiasan nafsu. Bagi saya, sebagai seorang mahasiswa, bukan lah sebuah kesulitan untuk menemukan sifat-sifat tersebut di lingkungan kehidupan seorang mahasiswa.

Plot dari Jomblo bisa dibilang klisye. Drama persahabatan yang hancur karena cinta mungkin saat ini dapat dengan mudah kita temui di drama-drama FTV. Yang menarik dari cerita film ini adalah film ini dapat membuat kita berpikir ulang tentang usaha kita untuk melepaskan diri dari predikat jomblo. Cerita film ini diselesaikan dengan sebuah penyelesaian dari konflik yang dihadirkan secara gamblang dan sederhana oleh Hanung Bramantyo, tidak mengada-ada tapi jujur adanya. Meskipun begitu, memang ada sedikit kejanggalan akan ketidak-hadiran keluarga dalam kehidupan ke-empat pemuda itu. Mungkin memang Hanung Bramantyo sedikit meniadakan sosok keluarga karena alasan tertentu yang saya tidak tangkap. Akan tetapi, hal tersebut bukan lah merupakan sebuah kecacatan, toh plot dari film ini tetap berjalan dengan semestinya.

Apalagi yang membuat film Jomblo menjadi relatable? Jomblo menyuguhkan sebuah realita kehidupan mahasiswa yang terkadang tak terarah. Dalam film ini, mahasiswa ditampilkan sebagai sosok yang senang mencari pelarian. Pergi ke diskotik, main fisik dengan lawan jenis, nge-ganja, atau sebatas main serong ketika sedang berpacaran seperti ditempelkan kepada sosok mahasiswa jaman sekarang oleh Hanung Bramantyo. Terkesan salah memang ketika kita mengeneralisasi hal itu kepada sosok mahasiswa, tetapi sekali lagi itulah realita yang coba dihadirkan dalam film ini. Mungkin Hanung Bramantyo secara eksplisit ingin membuka mata para orang tua yang menjadi penonton film ini. Menyadarkan bahwa anak-anak mereka yang mereka pikir lugu tak akan pernah aman dari ancaman bahaya-bahaya tersebut.

Jomblo (2006) berbeda dengan film-film komedi Indonesia yang muncul di bioskop saat ini. Tengok saja film-film seperti Modus (2016), Comic 8: Casino Kings part 2 (2016), Jomblo (2017) (remake dari film Jomblo ini sendiri), masih belum bisa memberikan kesan yang mendalam kepada penontonnya disamping jokes-jokes dari komedian layar TV (re: Stand Up Comedian). Tren munculnya para komika Stand Up Comedy memang bukan merupakan tren yang buruk, menimbang Ernest Prakasa muncul dengan Cek Toko Sebelah di tahun 2016. Namun, yang cukup disayangkan adalah ketika Hanung Bramantyo mencoba me-remake film ini dan memberikan dua role penting di film in kepada para komika (Ge Pamungkas dan Arie Kriting), hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Jombo (2017) terlanjur terseret arus perkomedian mainstream Indonesia yang menggunakan komedi slapstick dengan lawakan yang hanya lucu ketika sudah main fisik yang terkadang dilebih-lebihkan. Hal ini yang menjadikan Jomblo (2017) masih kalah memorable dari Jomblo (2006).

Realita-realita kehidupan percintaan dan sehari-hari seorang mahasiswa yang dihadirkan film ini, menjadikan Jomblo (2006) begitu memorable bagi sebagian penontonnya terutama dari kalangan mahasiswa tak terkecuali bagi saya. Menonton kembali Jomblo (2006) di tahun 2017 masih memberikan kesan yang mendalam bagi saya. Terlebih lagi, suasana perkuliahan serta kehidupan di Kota Bandung yang terasa menjadi lebih ”dekat” saat ini membuat saya sedikit berkaca kepada diri sendiri. Bagi saya Jomblo (2006) bukan hanya “sebuah komedi cinta” yang dapat membuat kita tertawa tentang cinta, tetapi juga berpikir tentang cinta.

Written by : Adira Syafi

--

--

Kineklub LFM ITB

Kanal diskusi, kritik, dan apresiasi film oleh kru Liga Film Mahasiswa ITB. https://linktr.ee/kineklub