RESENSI FILM POSESIF
“Kita berdua cukup untuk menaklukan dunia” kata Yudhis pada Lala sambil bermain rubik’s cube.
Posesif karya Edwin bercerita tentang dua sejoli yang saling berpaut di bangku SMA. Lala (Putri Marino), seorang siswi SMA yang juga altit lompat indah, terpincut oleh Yudhis (Adipati Dolken), anak pindahan ganteng yang langsung diperbincangkan seisi sekolah di hari pertamanya. Lala dan Yudhis bertemu di ruang guru ketika Lala sedang mengerjakan ujian susulan dan Yudhis sedang menyelinap untuk mengambil sepatunya yang disita guru olahraga. Dari sinilah hubungan antara keduanya dimulai.
Kedekatan Yudhis dan Lala bisa dikatakan cepat. Sekitar 20 menit sejak film dimulai, tanpa basa-basi keduanya langsung jadian. Diikuti potret romansa cheesy ala anak SMA, dihukum berdua, antar jemput kemana-mana, saling bertukar spirit animal, dan momen unyu lainnya membuat penonton mesam-mesem sendiri atau malah jadi geli sendiri. Hubungan Lala dan Yudhis dari kenal sampai jadian dirasa cepat dan mulus sekali seakan semesta mendukung mereka berdua.
Tapi film posesif memang berbeda dengan film romansa lainnya, di saat film remaja serupa seperti “Ada Apa Dengan Cinta” menceritakan bagaimana dua sejoli bisa bersatu, Posesif lebih kepada bagaimana sepasang kekasih bisa mempertahankan hubungannya. Duapertiga bagian film justru menggambarkan sisi gelap yang tak terekspos. Kalimat-kalimat manis yang terlontar dari mulut Yudhis maupun Lala di menit ke sekian film, langsung terbantahkan oleh peristiwa di menit berikutnya. Yudhis yang menjanjikan akan selalu siap menjadi pendengar dari keluh kesah Lala, tiba-tiba tak bisa menerima alasan kedekatan Lala dan Rino yang sudah bersahabat sejak SD. Pertengkaran demi pertengkaran silih berganti diiringi perilaku abusive dari Yudhis.
Meskipun begitu, Lala tak bisa lepas dari pengaruh Yudhis. Ia merasa hanya dialah yang dapat mengubah Yudhis menjadi lebih baik. Akhirnya terbentuklah siklus posesi antara keduanya yang silih berganti sampai penghujung film.
Yang kemudian menarik, posesi itu sendiri tak hanya terlihat pada Yudhis dan Lala sebagai karakter utama, namun juga karakter pendukung yang berpengaruh dalam kehidupan mereka. Lala memiliki seorang ayah (Yayu Unru) yang sangat berambisi menjadikannya atlit lompat indah tingkat nasional seperti almarhumah ibundanya. Ia juga memiliki dua teman dekat sejak SD, Ega (Gritte Agatha) dan Rino (Chicco Kurniawan), yang entah mengapa beberapa kali menunjukkan kepeduliannya kepada Lala di saat-saat yang tidak penting. Sementara Yudhis memiliki seorang ibu (Cut Mini) yang mandiri dan sangat memerhatikan masa depan anaknya karena ia tak mau Yudhis seperti mantan suami yang meninggalkannya.
Karakter-karakter yang ada di sekeliling Yudhis dan Lala membuka ruang spekulasi yang lebih luas kepada penonton terkait siklus posesi itu sendiri. Apakah dulu Ayah Lala juga posesif terhadap istrinya? Apakah almarhumah Ibunda Lala juga menerima posesi dari orangtuanya? Apakah Ibunda Yudhis menerima perilaku posesi pula dari mantan suaminya? Apakah perilaku posesif itu menular? Apakah perilaku posesif Yudhis ditularkan oleh Ibunya? Bahkan ketika film sudah mencapai konklusi, timbul pertanyaan “Apa yang terjadi ya kalau endingnya nggak begitu?”
Film posesif tidak seperti film-film cinta remaja Indonesia sebelumnya. Jika Ada Apa Dengan Cinta (2002) dengan “Rangga”nya membuat trend cowo puitis dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk yang mengisahkan cerita cinta dengan penuh fantasi, Posesif justru menangkap fenomena yang terjadi pada di masyarakat umum jaman now sehingga penonton (terutama remaja SMA-Mahasiswa) akan lebih mudah relate terhadap ceritanya. Yang didapatkan penonton setelah keluar dari studio bukanlah “ah, aku ingin seperti Yudhis dan Lala” melainkan “Yudhis dan Lala riil banget/gue banget/mantan gue banget” dan seterusnya.
Experience dan impresi riil dari hubungan Yudhis dan Lala pun dibawa keluar film dengan campaign marketing yang menarik, yakni dibuatnya akun instagram dan Youtube Channel yang berisi kemesraan Yudhis dan Lala, seakan-akan di belahan dunia entah dimana Yudhis dan Lala benar-benar ada di dunia kita. Menariknya, konten-konten tambahan ini bisa kita cocokkan dengan konten social media milik kita atau bahkan milik teman-teman kita, yang akhirnya dapat menimbulkan prasangka “Hmm jangan-jangan si X hubungannya juga kayak Yudhis sama Lala”. Adapula posesif-o-meter berbentuk kuis yang dapat memberitahu kita seberapa posesif kita terhadap pasangan. Jika memang tujuan dari film posesif adalah membangun awareness terhadap that-so-called “hubungan tidak sehat” yang terjadi di masyarakat sekarang, maka rangkaian marketing yang mendampingi film posesif sangat-sangat patut diacungi jempol.
Posesif membawa angin segar pada konstelasi film romansa di Indonesia. Buat apa menceritakan fantasi cinta hanya untuk menjadi angan-angan, di saat realita hubungan romansa kita tidak sedang baik-baik saja dan belum ada yang menyuarakan?
Written by : Elba Andera