Resensi Film: To All the Boys I’ve Loved Before (2018)

Kineklub LFM ITB
4 min readAug 31, 2018

--

Peter Kavinsky (Noah Centineo) danLara Jean Covey (Lana Condor)

Terkadang mengungkapkan cinta menjadi hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Banyak pertimbangan yang terjadi sebelum mengatakan segala perasaan dalam hati. Faktor seperti takut ditolak atau juga ketidaketisan mencintai orang yang sama dengan saudara sendiri dapat menjadi salah satu penyebabnya. Hingga ada kalanya seseorang hanya bisa memendam perasaan itu dalam dalam atau mati membawa rahasia hati. Terlebih, bagi seorang wanita ada “norma” tidak boleh menyatakan cinta duluan. Hal itu pun semakin berat jika orang yang dicintai adalah sahabat sendiri, karena rasa canggung yang lebih besar.

Semua hal tersebut sedang menimpa Lara Jean Covey, seorang wanita 16 tahun berdarah Korean-American yang terjebak didalam situasi ini dalam waktu yang bersamaan. Uniknya wanita ini memiliki cara yang tersendiri untuk mengekspresikan perasaanya. Ia tidak sepenuhnya memendam perasaanya dalam hati. Namun, setiap kali ia jatuh cinta pada seorang pria, ia akan menuliskan perasaanya dalam sebuah surat cinta lengkap dengan alamat si pria pujaan. Dengan cara ini, ia bisa melepaskan beban di hatinya serta imajinasi di kepalanya. Total ia sudah menulis 5 buah surat cinta yang ia simpan baik baik dalam kotak berwarna hijau peninggalan mendiang ibunya. Lara tak pernah berada dalam hubungan karena lebih nyaman merahasiakan isi hatinya. Namun, keadaan berubah total ketika Kitty, sang adik bungsu, menyelinap masuk ke kamar Lara dan membuka kotak rahasia tersebut. Tak hanya membuka kotak tersebut, Kitty bahkan mengirimkan ke 5 surat cinta rahasia tersebut ke seluruh pria yang namanya tertulis dalam surat tersebut.

Kompleksitas masalah percintaan yang sangat rumit dapat dikemas secara riang dan ringan. Hal ini membuat saya menyukai film garapan Susan Johnson ini. Begitu banyak pihak eksternal yang turut andil menjadi alasan Lara tak mengungkapkan cintanya. Seperti Josh Sanderson sang first love yang menjalin hubungan dengan kakak Lara sendiri. Serta Peter Kavinsky sang penjaga gawang regu olahraga lacrosse yang menjalin hubungan dengan Genevieve, yang merupakan musuh bubuyutan Lara. Sekilas saya berspekulasi “Ah ini pasti falling in love with my bestfriend atau palingan merebut cowo terhits dari cewe terhits di sekolah”. Tapi ternyata ……… ( yaudah nonton aja sendiri gamau banyak spoiler)

Sebagai seorang yang mengapresiasi film secara objektif, ada dua aspek penilaian untuk film berjenis romance comedy sebagai dasar untuk menilai sebuah karya hasil sineas. Tentu saja aspek tersebut adalah romance dan juga comedy. Kedua hal inilah yang menjadi element utama yang mampu membuat penonton ketawa-ketawa karena rasa gemas, geli dan terkadang “baper”. Sosok Lara Jean Covey dan Peter Kavinsky saya rasa sangat bisa membawakan pensuasaan romance comedy yang baik. Pribadi Lara yang polos dan kerap bertindak bodoh ketika panik menjadi kunci utama aspek comedy dalam film ini. Sedangkan tindakan-tindakan yang dilakukan Peter Kavinsky menjadi highlight tersendiri bagi penonton. Contohnya adalah kemampuannya untuk mudah berbaur dengan keluarga Lara. Baik dengan Kitty yang langsung akrab pada pertemuan pertama maupun dengan ayah Lara. Ditambah perjuangannya menyiapkan camilan dan minuman kesukaan Lara yang hanya bisa dibeli di toko istimewa dengan jarak tempuh yang cukup jauh. Hal ini yang membuat kaum hawa berdecak kagum pada pria berbadan atletis ini. Kepribadian dan tindakan kedua tokoh ini membawakan aspek romantisme dan unsur komedi menjadi cenderung seimbang. Tidak terlalu “so sweet” dan juga tidak terlalu comedy.

Bicara mengenai film romance Saya rasa adegan ciuman adalah scene yang sangat penting sebagai bentuk ekspresi cinta. Namun tentu perlu pengemasan adegan yang memenuhi standar rating. Mengingat rating film ini adalah PG13 (diatas 13 tahun). Tak seperti kebanyakan film romance yang mempertontonkan tindakan ini yang berakhir dengan buka baju dan sex, film ini justru berusaha membuat adegan ini sesuai dengan rating PG13 serta relatable dengan demografi para tokoh yang masih berusia remaja. Sehingga scene ciuman terasa penuh cinta dan tidak menjijikan.

Dari aspek cinematography, film ini dikemas dan diperindah dengan proses editing yang sangat baik. Transisi dari adegan ke adegan lain terasa sangat lembut. Pergantian bulan pun dapat diketahui dari spanduk pergantian bulan yang kerap muncul di beberapa scene. Hal yang paling menonjol adalah color tone dalam film yang mampu menciptakan ciri khas tersendiri. Pemilihan cast pun menurut saya sangat baik. Protagonis Lara Jean Covey diperankan baik oleh Lana Condor yang memiliki wajah oriental sesuai dengan versi novel yang ditulis oleh Jenny Han. Hal ini pun menjadi keunikan karena jarang sekali film garapan Amerika Serikat menampilkan protagonist orang asia selain film Jackie Chan dan Jet Li. Berikutnya adalah Peter Kavinsky yang diperankan oleh Noah Centineo. Saya rasa Noah Centineo menjadi nilai jual tersendiri di penonton wanita lantaran bentuk fisiknya yang atletis namun tidak terlalu bulked serta wajah tampan dengan lesung pipi, sangat cocok dengan demografi tokoh Peter Kavinsky yang seorang athlete sekolah.

Saya rasa film ini adalah bentuk balas dendam Netflix terhadap IMDB atas kegagalan film “The Kissing Booth” yang berjenis sama. Di tahun yang sama, sebelumnya Netflix merilis film tersebut dan mendapatkan nilai 6.3/10 dari IMDB dan 13% dari Rotten Tomatoes. Sedangkan film “To all the boys I’ve loved before” mendapatkan nilai 7.8 / 10 dari IMDB dan 94% dari Rotten Tomatoes. Perubahan yang cukup signifikan dalam transisi waktu yang singkat. Penonton pun dapat lebih objektif membandingkan kedua film ini secara “Apple to Apple”.

Oleh: Rizqi Dwi Ramadhianto

--

--

Kineklub LFM ITB

Kanal diskusi, kritik, dan apresiasi film oleh kru Liga Film Mahasiswa ITB. https://linktr.ee/kineklub