Review, 2001: A Space Odyssey (1968)
This review may contain spoilers.
Ironi
Teknologi bagi seni berperan secara ekstensif, artinya teknologi dapat memperluas kemungkinan kemungkinan yang dapat dilakukan oleh dunia seni. Salah satu akibat teknologi, seni dapat muncul secara multi-media, contohnya ialah film. Film hadir sebagai seni bentuk baru yang kompleks. A new form of complexity.
2001: A Space Odyssey merupakan perkawinan teknologi dan seni yang apik dan groundbreaking.
Seni bagi teknologi berperan secara antisipatif, artinya seni dapat menggambarkan bayangan masa depan, baiknya, buruknya, maupun gambaran mentahnya saja.
Di film ini menunjukkan bahwa peradaban penuh teknologi, memanglah terlihat menjanjikan dan dieluh eluhkan manusia. Percakapan antar manusia terlihat banal, sedangkan teknologi jauh lebih menarik mata dan terasa extraordinary. Namun, di akhir film, digambarkan bahwa ketika teknologi sudah mencapai batas mentoknya (dalam artian manusia sudah dapat melaksanakan perjalanan ke planet jupiter dan hal, si artificial intelligence, dapat melakukan aksi bunuh bunuhan kepada manusia), inilah ketika Dave bertemu dengan monolith hitam (sebagai lambang pergantian era peradaban manusia) yang mengambang di luar angkasa dan awal mula manusia dapat menjadi entitas yang transenden dan belum pernah terpikirkan sebelumnya (star baby). Apakah ketertarikan kita hanyalah sebuah perangkap agung? Apakah eksplorasi kita terhadap pertanyaan kita selama ini hanya akan membawa kita ke jalan buntu? Atau ini hanya pikiran ngaco 3 paginya Kubrick dan Arthur yang gak perlu dipikirin serius serius banget? Rasa pesimis film terhadap teknologi jelas terlihat disini.
Tapi, tanpa ketertarikan kita itu 2001: A Space Odyssey tidak mungkin dibuat juga sih lol XD. *balik lagi ke paragraf awal tulisan*
The irony.
Evaluasi
Baiklah, terlalu ekstrim kalau bilang 2001: A Space Odyssey menunjukkan rasa pesimisnya terhadap teknologi. Oke fine. Setidaknya, Kubrick bikin kita merenung tentang apa yang sesungguhnya berharga namun bisa saja segera hilang.
-written by Angga (kru’19)-