Review: Eksil (2022)
Ditulis oleh Kru Dinan ‘20
“Kami ini warga Indonesia menjadi orang asing bukan atas kemauan kami”, sepenggal kalimat yang paling teringat dari film berjudul The Exiles. Tidak sedikit dari kita yang ingin menempuh studi di luar negeri dengan harapan memperoleh ilmu, budaya, serta pengalaman baru yang kelak bisa diceritakan saat kembali menginjakkan kaki di tanah air. Namun, harapan ini menjadi cerita yang berbeda untuk mahasiswa yang menerima beasiswa studi di luar negeri pada tahun 1960-an. Tahun dimana bergejolaknya ideologi politik di Indonesia, pengambilalihan kekuasaan oleh Jenderal Soeharto, pembunuhan anggota PKI hingga anggota keluarganya, merupakan beberapa kejadian yang berujung menjadikan mahasiswa ini “terpenjara” di negara tempat mereka menempuh studi saat itu.
Setidaknya ada ribuan mahasiswa waktu itu yang tidak bisa kembali ke tanah air karena dianggap akan membawa paham komunisme ke Indonesia oleh pemerintahan orde baru dan dengan risiko jika mereka pulang akan dipenjara atau dibunuh selayaknya masyarakat yang di-PKI-kan. Dengan demikian, banyak dari mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan saat itu karena diasumsikan oleh pemerintahan orde baru sebagai pengikut paham komunisme dan kewarganegaraannya dicabut. 30 tahun lebih mereka “dipenjara” secara tidak langsung oleh negaranya sendiri dan terus berusaha untuk pulang hingga ajal menjemput.
Film ini memberikan sudut pandang tidak biasa kepada diri saya (penulis) yang hendak melanjutkan studi dan hidup di luar Indonesia, bahwa di luar sana ada yang sepanjang sisa hidupnya berusaha untuk mencari jalan pulang kembali ke tanah air, kepada rumah, kepada keluarga. Terpisah oleh jarak yang begitu jauh, memberikan perasaan resah kepada yang dicintai tanpa mengetahui kabar sesungguhnya yang terjadi di kampung halaman. Terasingkan selama 30 tahun dan mendapatkan kabar orangtuanya meninggal, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa bahkan sekadar menghadiri pemakamannya.
Pembangunan alur cerita dalam film ini tidak hanya menekankan pada inti dari dokumenter saja, tetapi juga menekankan bagaimana mereka yang “terpenjara” bertahan hidup dengan kegiatan sehari-harinya dengan terus memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia dan bagian dari Republik Indonesia .