Review: Keramat 2 (2022)

Kineklub LFM ITB
3 min readDec 24, 2022

--

Ditulis oleh Kru Ito ‘21

Ketika berbicara mengenai film horror Indonesia yang legendaris, kurang lengkap rasanya jika film Keramat (2009) tidak berada di dalam deretan. Dengan mengusung gaya found footage, keramat hadir sebagai angin segar dalam perfilman Indonesia yang menawarkan pengalaman baru bagi penonton untuk merasakan takut yang lebih nyata. Tak heran jika film ini digadang-gadang menjadi salah satu film horor Indonesia terseram. 13 tahun berlalu, hadirlah kabar bahwa film tersebut kedatangan sebuah sekuel. Namun, kehadiran Keramat 2: Caruban Larang justru menimbulkan banyak pertanyaan dan perdebatan. Apakah sekuel ini memang seharusnya dibuat? Apakah konsep yang diusung pada film pendahulunya masih relevan?

Bercerita tentang sekelompok remaja yang melakukan perjalanan menuju padepokan tari Caruban Larang dan disatukan oleh beberapa tujuan. Arla (Arla Aliani), Jojo (Josephine Firmstone), dan Maura (Maura Gabrielle) dengan tujuan riset untuk tugas akhirnya, Umay (Umay Shabab) dengan tujuan untuk film dokumenternya, dan Ajil (Ajil Ditto) & Keanu (Keanu Angelo) dengan tujuan untuk konten horror di Youtubenya. Ketiga tujuan tersebut membawa mereka menuju perjalanan yang tidak akan pernah terlupakan. Konflik internal yang hadir diantara kelompok tersebut cukup terasa dari awal perjalanan, hingga memuncak pada saat mereka sampai di penginapan yang sangat tidak layak. Perdebatan cukup memanas, disertai dengan ajang untuk saling menyalahkan. Namun nyatanya, kejadian tersebut hanyalah musibah kecil, jika dibandingkan dengan apa yang akan mereka alami kedepannya. Permasalahan yang sebenarnya diawali ketika mereka membuka kotak yang seharusnya tidak pernah mereka buka.

Kembali duduk di kursi sutradara, Monty Tiwa mengambil keputusan yang besar untuk membuat film ini tanpa skrip. Salah satu konsekuensi besar yang harus diambil yakni apakah dialog yang ditunjukkan antar pemain dirasa cukup natural? Sayangnya, dalam beberapa bagian, dialog antar pemain terasa terlalu dipaksakan untuk membuat tensi yang tinggi. Perdebatan yang hadir, ditambah dengan penggunaan kata kasar, dirasa terlalu repetitif, tanpa ada urgensi yang tinggi.

Permasalahan cukup mengular pada rasa empati yang kita miliki ke tiap karakter. Hal ini selalu menjadi masalah ketika suatu film hadir dengan karakter yang banyak, dan sayangnya, di film ini, kita sebagai penonton kurang dapat menumbuhkan rasa empati terhadap karakter-karakter di film ini dan konflik yang dihadapinya. Hal ini mungkin terjadi karena motivasi yang dimiliki tiap karakter kurang terlihat, atau mungkin saling menutupi. Seperti contohnya, Keanu yang mengambil porsi atensi terlalu besar ketika berbicara sendiri ke kamera. Meskipun Keanu menjadi senjata humor utama di film ini, namun berpotensi besar untuk mengalihkan atensi penonton, sehingga kita tidak terlalu fokus terhadap karakter yang lainnya. Hal ini ditambah lagi dengan kehadiran tokoh Ute (Lutesha) sebagai sosok “pahlawan” dan highlight utama di film ini, yang ternyata mempunyai konflik tersendiri dengan Keanu. Secara garis besar, salah satu kelemahan yang dapat dirasakan oleh film ini adalah konflik yang overlapping.

Beralih ke segi teknis, konsep found footage yang berhasil dieksekusi pada suksesornya kembali dibawakan, namun mengalami modernisasi. Kreativitas dalam memberikan variasi gambar patut diapresiasi. Kita diajak untuk mengikuti perjalanan mereka dari perspektif yang berbeda, seperti kamera digital yang beralih fungsi menjadi dokumentasi perjalanan, dokumenter yang sedang dibuat, ataupun vlog. Kehadiran beberapa rekaman dari live instagram sebagai pelengkap juga menjadi salah satu variasi yang membuat kita sebagai penonton tidak merasa jenuh. Namun, kembali seperti dialog, apakah rekaman yang disajikan dapat terasa natural? Sayangnya lagi, terdapat beberapa bagian yang dirasa terlalu diatur agar penonton dapat menyaksikan suatu kejadian dari posisi yang bagus. Tidak hanya itu, variasi kualitas gambar yang disajikan juga tidak terlalu kontras, sehingga kerap kali tidak masuk logika. Kasarnya, Keramat 2: Caruban Larang kehilangan unsur spontanitas dalam sajian rekaman-rekamannya.

Secara garis besar, Keramat 2: Caruban Larang memang memberikan pengalaman menonton yang cukup berbeda dengan suksesornya. Meskipun kurang lebih menggunakan formula yang sama, kehadiran porsi komedi di film ini menjadi salah satu perbedaan kontras. Hadirnya komedi di film ini pun tidak meninggalkan esensi horrornya. Tali penghubung dengan film pendahulunya sukses digambarkan dengan baik dan cukup memberikan kejutan. Namun, ketika muncul pertanyaan tentang apakah film ini sama berkesannya dengan Keramat 1? Rasanya tidak.

--

--

Kineklub LFM ITB

Kanal diskusi, kritik, dan apresiasi film oleh kru Liga Film Mahasiswa ITB. https://linktr.ee/kineklub