Review: You Are the Apple of My Eye (2011)

Kineklub LFM ITB
3 min readFeb 27, 2023

--

Ditulis oleh Maman (Kru ‘21)

You are the apple of my eye:

The person of whom one is extremely fond, favorite, and loving; most favorite person.

You Are the Apple of My Eye menceritakan kisah Ko Ching-teng, dan hubungannya dengan Shen Chia-yi (Michelle Chen), Ching-teng adalah pembuat onar yang setelah melakukan hal vulgar di kelas dipaksa untuk duduk di depan Chia-yi, yang merupakan siswa top kelas, sehingga dia bisa mengawasinya. Hubungan spontan mereka dimulai dengan saling membenci, tetapi suatu hari Ching-teng membantu Chia-yi pada waktu kelas, lalu karena itu ia memutuskan untuk membantu Ching-teng yang selalu gagal pada semua ujiannya. Seiring banyaknya momen belajar bersama, hubungan mereka pun berkembang dan berlanjut selama beberapa tahun. Sesampainya mereka di jenjang perkuliahan, mereka bercakap setiap malam, walaupun mereka berdua tidak pernah benar — benar berkencan.

Sudah jelas sejak awal bahwa Ching-teng menyukai Chia-yi, dan mereka berdua mengetahuinya. Meski begitu, dia menolak untuk membiarkan dia mengatakan apa yang dia rasakan, karena dia ingin terus mengejarnya. Apa yang dilakukan oleh Ko Ching-teng kepada Shen Chia-yi membuat saya sadar dan memahami akan definisi cinta itu sendiri. Cinta adalah hal indah yang abstrak dan absolut. Aksi yang konkret itu dibutuhkan untuk mencapai parameter untuk mencintai seseorang. Cinta bukanlah hal yang spontan, membutuhkan waktu juga dikejar oleh waktu.

Sinematografi yang simpel, plot yang cliche, Basic rom-com movie. Itulah asumsi saya saat pertama kali menonton film ini, tetapi ternyata asumsi itu salah yang terbukti dari tangisan dan nostalgia yang saya rasakan pada akhir film ini. Mungkin bisa dibilang berlebihan untuk mengatakan film romcom ini sekelas film “Sleepless in Seattle”nya Meg Ryan, atau se sedih ending film “When Harry Met Sally”nya Meg Ryan juga, atau se romantis film “You’ve Got Mail”nya yang pastinya Meg Ryan, tetapi perbedaan krusial. pada film ini penonton diajak bernostalgia dengan cliche-nya cinta pertama, dan nelangsanya kalian semua pada tidak tersampainya cinta pada seseorang tersebut. Bukan hanya plot, penonton juga dibawa nostalgia dengan latar yang membelakangi seorang yang tumbuh di asia pada tahun 90an yang bisa dibilang lebih familiar, dibanding rom-com Hollywood.

Pada sisi produksi pun, saya bisa bilang film ini di produksi sangat baik dari baiknya chemistry diantara Ching-teng dan Chia-yi, directing yang sangat ciamik untuk produksi sutradara feature film pertama juga plot yang unik dan fresh, bisa dibilang seperti ini karena ini adalah cerita asli yang dialami oleh sang sutradara sekaligus penulis Giddens Ko, yang membeberkan pengalamannya dengan tidak menjenuhkan dan juga penuh relevansi penonton pada tiap babaknya. Saya ga bisa bilang film ini sempurna, sesungguhnya film ini jauh dari kata sempurna, karena pada beberapa scene saya merasa film ini itu terlalu panjang, juga ada beberapa scene di pertengahan film yang mulai membosankan, tetapi itu tertepis dengan ending yang sangat hangat dan sangat menyedihkan pada saat yang sama. Sesaat setelah menonton film ini, tumbuh pertanyaan yang mengganjal di otak saya, film indonesia (khususnya romance) seharusnya sangat bisa sekelas film ini, tetapi mengapa tidak?

--

--

Kineklub LFM ITB
Kineklub LFM ITB

Written by Kineklub LFM ITB

Kanal diskusi, kritik, dan apresiasi film oleh kru Liga Film Mahasiswa ITB. https://linktr.ee/kineklub

No responses yet