Review: Ziarah (2016)

Kineklub LFM ITB
2 min readMar 10, 2021

Ziarah (2016) mengajak kita untuk pergi dalam sebuah perjalanan pencarian. Bersama Mbah Sri, diperankan dengan liris oleh Ponco Sutiyem, dalam perjalanannya mencari makam suami yang kandas dalam perang berpuluh-puluh tahun silam. Mbah Sri hanya dibekali ingatan yang menua bersama usia, sanggah di satu tempat ke tempat lain, kisah satu ke kisah lainnya. Pada setiap kisah itu juga ia menjumpai sejarah yang — walau sekian lama telah berlalu — masih menggentayangi kehidupan orang-orang.

B.W. Purba Negara membawa pengalaman bercerita ini dengan memikat penonton untuk ikut meraba-raba kebenaran, dari alur yang sulit ditebak dan terkesan belok-belok. Tokoh yang terus berganti juga menambah pertanyaan-pertanyaan bagaimana ujung dari perjalanan ini. Tidak ada yang pasti, semuanya disuguhkan secara perlahan-lahan.

Kesunyian di Ziarah juga terasa lantang. Entah itu didorong oleh optimisme atau rasa putus asa, pencarian Mbah Sri terasa sangat panjang. Bahkan sampai petunjuk-petunjuk terakhir, sunyi dari dialog yang seadanya dan gambar yang minim gerakan menyerukan kekerasan hati Mbah Sri. Namun sunyi yang paling lantang adalah pada bagian akhir film. Melalui sekuen yang pendek, Mbah Sri dipaksa untuk menghadapi kebenaran yang dicarinya selama ini. Pahit memang, tapi ada rasa lega yang terbayarkan dibalik ketegarannya.

Premis sederhana yang dibawakan oleh Ziarah dikemas baik melalui jalan cerita yang penuh dengan eksplorasi emosi. Film ini cukup mudah untuk membekas di ingatan, jadi sayang jika dilewati.

-ditulis oleh Ninan (kru’20)-

--

--

Kineklub LFM ITB

Kanal diskusi, kritik, dan apresiasi film oleh kru Liga Film Mahasiswa ITB.