Understanding Desire And Its Conveyance : A Deep Thought of Normal People (2020)

Kineklub LFM ITB
4 min readSep 4, 2023

--

Sependek aku hidup, aku sudah bosan mendengar pernyataan bahwa komunikasi adalah hal paling penting dalam menjalin hubungan. Dua ribu tahun lebih manusia berada di muka bumi, berkomunikasi, dan memahami bahwa komunikasi adalah hal fundamental dalam hubungan. Namun, permasalahan komunikasi tetap ada, lalu apa yang salah?

Suatu hubungan interpersonal pasti terdiri dari setidaknya dua pribadi yang berbeda. Dalam penyatuan keduanya (atau lebih dari dua), dibutuhkan kompromi resiprokal. Bagaimana mencapai hal tersebut? Komunikasi; perpindahan informasi, entah mengenai ego, prinsip, angan, impian, dan lain-lain. Pernyataan bahwa komunikasi yang baik adalah kunci dalam membangun hubungan sudah hampir selalu digaungkan. Namun, bagaimana jika informasi yang diberikan cacat? Bagaimana jika ego terlalu abstrak untuk dibicarakan? Bagaimana jika prinsip atau impian seseorang berubah?

Cinta adalah bunga yang bersemi di tempat yang tak diduga-duga, sekalipun gersang. Cinta bersemi antara Connell Waldron dan Marianne Sheridan, dua remaja dengan latar belakang, kepribadian, dan lingkungan yang bagai langit dan bumi. Connell merupakan murid yang populer dan ia berasal dari keluarga kelas pekerja; sedangkan Marianne bukanlah seseorang yang mengisolasi diri dari siapa pun di sekolah, meskipun ia berasal dari keluarga yang mewah.

Entah sudah berapa lama mereka saling mengenal ataupun bersekolah bersama. Pada akhirnya, salah satu dari mereka pun mengomunikasikan emosinya — inilah pertukaran informasi pertama antara keduanya, yaitu perasaan. Mereka berdua paham apa yang mereka rasakan untuk satu sama lain, tetapi masih nihil pemahaman akan hasrat dan ego masing-masing.

Ketidakpahaman menyebabkan keraguan dalam berkomunikasi. Ingat, keraguan dalam berkomunikasi, bukan kenaifan untuk membohongi diri sendiri. Keraguan ini menyebabkan apa yang mereka coba komunikasikan pun tidak selaras dengan isi hati; menyebabkan naik-turun dalam hubungan mereka. Setidaknya, hal ini terjadi dua kali; pertama dalam bentuk tabrakan ego antara keduanya yang tak disuarakan, dan kedua dalam bentuk kesalahpahaman yang tak disengaja.

Lompatan demi lompatan waktu mempercepat proses mereka dalam mempelajari kesalahan masing-masing. Mereka memang berkembang, tetapi sialnya, dosa kesalahan di masa lalu tetap harus ditebus; mereka harus tetap menjalani konsekuensi ketidakserasian antara tutur dengan isi hati mereka sendiri. Bedanya, kali ini, mereka sudah memahami apa yang mereka inginkan.

Kapasitas emosional pun menjadi pembatas terakhir untuk mereka dapat berbohong. Ketika sudah hanya tinggal satu loncatan sebelum bergantung pada seutas tali yang diikatkan ke langit-langit, manusia akan telanjang hingga sebuas-buasnya, sementah-mentahnya, dan seprimitif-primitifnya. Inilah yang terjadi, krisis besar pada kehidupan masing-masing menyebabkan Connell dan Marianne sudah tak dapat menyembunyikan apa yang dirasa.

Namun, pada akhirnya, pernyataan yang membosankan itu (yang saya tulis pada bagian awal esai ini) benar adanya. Komunikasilah yang kembali menyatukan mereka. Serial ini berhasil mereplikasi dua momen pertukaran informasi yang hangat dan sekejap mirip, tetapi nyatanya, dua karakter ini telah berkembang satu sama lain sehingga konklusi dari dua momen hangat ini pun jauh berbeda. Apa yang membedakan dua momen ini?

Sekejap mata, serial ini seperti banyak menyajikan apa yang terlihat seperti kenaifan dan kemunafikan. Banyak momen yang membuatku merasa kesal; mengapa mereka tak mencoba untuk jujur dan mengomunikasikan keinginan mereka? Seakan-akan jujur dan mengutarakan keinginan adalah suatu hal yang mudah. Setelah menghabiskan seluruhnya, aku akhirnya paham; komunikasi pun tak ada gunanya jika belum memahami perasaan, ego, angan, dan impian sendiri.

Pada akhir hubungan pertama, perasaan dan ego Connell bertabrakan dan ia belum tahu bagaimana melampaui tabrakan tersebut, sehingga ia mengomunikasikan hal yang salah dan menyebabkan Marianne merasa terkhianati. Begitu pula pada hubungan kedua, Connell ragu akan isi hatinya sehingga tak dapat menyampaikannya dengan baik. Marianne pun tak lepas dari kecacatan ini, ia sempat terjebak dalam hubungan beracun dan manipulatif akibat kebingungan hasratnya.

Setelah melewati benturan demi benturan, mereka jauh lebih memahami isi hati masing-masing, sehingga sudah jauh lebih fasih dalam menyampaikannya. Perlahan pula mereka paham bahwa tutur hanyalah kain tipis yang berusaha menyembunyikan lekuk dan liuk mereka; sebanyak-banyaknya lapis tutur yang dikenakan, tak ada gunanya dalam menyembunyikan gestur mereka. Kembali ketika momen krisis besar terjadi, semuanya larut dalam satu pelukan; satu gestur paling jujur untuk meniadakan seluruh tutur yang sebelumnya terucap, dan membuka jalan untuk tutur baru yang selaras dengan isi hati.

“When we were together in the first year of college, were you lonely then?”

“No, you?”

“No.”

Kali ini, mereka tak kembali runtuh. Mereka sudah memahami dan berhasil menyampaikan isi hati, lalu berkompromi dengan konsekuensi yang hadir. Momen ini merupakan penyatuan sempurna dari dua manusia normal yang cacat dalam memahami hasrat, tetapi seiring waktu belajar dari kesalahannya. Komunikasi berhasil mereka bangun dengan komposisi gairah, komitmen, dan hangat yang pas. Mereka akhirnya menyatu sebagai satu insan yang utuh; tak lagi berjalan tarik-menarik berbeda arah, melainkan berjalan seperti sepasang kaki yang serasi.

Di dahan lain dari pohon cerita pendewasaan ini, aku memetik buah lain: bahwasanya tak pernah ada titik dalam suatu hubungan. Mungkin, memang selalu ada “akhir” seperti putus hubungan, hilang kontak, terpisah negara, dan sebagainya. Namun, tak berarti bahwa hubungan tersebut berhenti bertumbuh. Hingga kapan pun, hubungan akan terus berevolusi menyesuaikan individu-individu yang terlibat.

Ada momen ketika hubungan mereka terlihat berakhir begitu saja. Namun, sebenarnya, mereka perlahan berdamai dengan kesalahpahaman masing-masing; menandakan bahwa hubungan mereka masih bertumbuh dan melahirkan kembali rasa percaya. Begitu pula hubungan dengan orang yang sudah meninggal, mereka yang ditinggalkan akan terus mengubah arah tumbuhnya hubungan; seperti menelisik kebaikan seseorang dan mengubah pandangan terhadap orang yang sudah meninggal. Apiknya, serial ini pun mampu menggambarkan hal tersebut.

Normal People merupakan tontonan cukup ringan — jika dikonsumsi dalam dosis maksimal dua episode dalam sehari — yang dapat memberikan pengalaman emosional, juga pencerahan naif terkait hubungan. Ya, meskipun naif, tetapi hampir seluruh hubungan yang masalahnya tak jauh dari komunikasi memerlukan pencerahan ini (menurutku).

Jahitan untuk tiap lompatan waktu masih terasa pas dan tidak menyebabkan perubahan drastis yang tak diduga-duga. Pemilihan shot pun apik meskipun sederhana. Scoring dari serial ini cukup ringan dan sedikit repetitif, tetapi tak jarang pula menghadirkan soundtrack yang cocok dengan kondisi hubungan yang sedang berjalan. Kehadiran soundtrack yang subtle membuatnya tak terasa dipaksakan ataupun cringe.

Namun, ya, aku tak menyarankan serial ini untuk mereka yang tak tahan dengan laju cerita lambat dan pembawaan yang terlalu melankolis.

--

--

Kineklub LFM ITB
Kineklub LFM ITB

Written by Kineklub LFM ITB

Kanal diskusi, kritik, dan apresiasi film oleh kru Liga Film Mahasiswa ITB. https://linktr.ee/kineklub

Responses (1)